Blue Bird vs Saiful Jamil


Baru-baru ini gue mencoba untuk melek berita yang ada di masyarakat. Biasanya gue melek berita tujuannya untuk menaikan intelejensia gue dan membuka pikiran gue tentang isu-isu sosial yang beredar di masyarakat. Untuk berita yang gue baca terakhir secara intelejensia, gue rasa gak terlalu meningkat dan mempengaruhi akademi perkuliahan gue. Berita yang gue baca saat itu ada pelecehan yang dilakukan oleh artis Saipul Jamil.

Untuk cara gue memperoleh berita gue lebih prefer untuk membeli koran atau majalah karena kenyamanan membaca yang ditawarkan secara fisik dan dari segi konten yang padat dan rinci. Gue juga suka membaca media elektronik, namun terkadang konten yang disajikan kurang padat dan terkesan "recehan" mengingat mereka mengejar target yang memang terpaku dengan mobilitas tinggi sehingga dibutuhkan suatu penyajian seringkas-ringkasnya. Sedikit cerita kenapa gue sekarang gak terlalu melek berita karena gue sedang rehat sejenak dari berlangganan koran di dekat kosan gue karena kebutuhan ekonomi yang mendesak gue untuk memilih prioritas utama gue yaitu makan. Status pengangguran yang gue punya menjadikan duit bulanan kiriman dari orang tua menjadi andalan untuk membeli sesuatu dan membutuhkan pengorbanan untuk memilih. Perang pun berkecamuk di antara nurani dan pikiran gue, antara otak gue yang terisi dengan ilmu-ilmu sosial ataupun perut gue yang terisi oleh nasi, rendang, dan telur balado. Demi mencegah pertumpahan darah yang terjadi, gue memilih nasi, rendang dan telur balado. Saat gue ingin membeli nasi, rendang, dan telur balado, duitnya cuman bisa buat beli nasi doang. Anyeng. #nangis

Sebelum ke permasalahan yang akan gue bahas, gue turut berduka cita atas aksi teror di Stasiun Metro Maalbeek di Brussels kota Belgia yang menewaskan 34 orang dan belasan lainnya luka-luka. Semoga para keluarga korban mendapatkan ketabahan dan para pelaku dapat ditangkap secepatnya dan diadili seadil-adilnya.

Sejujurnya gue gak terlalu mengikuti tentang demonstrasi supir taksi konvensional terhadap taksi berbasis online yang katanya menyalahi aturan angkutan umum di Indonesia. Maka dari itu gue secara terbuka kepada para pembaca (kalo ada yang baca) untuk mengoreksi tulisan gue kalo ada yang salah. Gue juga gak terlalu mendalami kasusnya sehingga pada tulisan gue ini gue coba membantu membuka pandangan kita sebagai konsumen dan bagaimana jika kita memposisikan diri sebagai orang yang mempunyai peranan penting pada kasus ini dari sisi apa yang dipermasalahkan dan bagaimana solusi yang bisa ditawarkan demi kesejahteraan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Gue coba menjadi memposisikan diri sebagai mediator bukan memihak pada salah satu pihak yang merasa benar karena yang benar hanyalah kunci jawaban soal SNMPTN.

Di sini ada dua pihak yang berseteru, pihak taksi yang konvensional dan pihak taksi berbasis online. Terlihat pihak taksi konvensional menuntut pemerintah agar menutup aplikasi taksi berbasis online yang menurut mereka tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Bagi pihak taksi berbasis online, mereka mempunyai pandangan bahwa aplikasi yang mereka buat untuk kemudahan konsumen untuk menjangkau mereka. Silahkan buat peraturannya agar terjalin kesetaraan sesama pengendara taksi. Entah dari mana asalnya awalnya demonstrasi ini berjalan dengan damai sampai pada akhirnya demonstrasi yang dilakukan oleh pengendara taksi konvensional meledak menjadi arena perang seperti perang yang terjadi di film serial Game of Thrones.

Arena Perang di Jakarta Saat Demonstrasi Supir Taksi

Arena Perang di Game of Thrones

Sebenarnya kita sebagai konsumen bisa menjadi penengah untuk permasalahan ini dengan mengancam aksi demonstrasi para supir taksi dengan tidak menggunakan taksi baik konvensional maupun taksi berbasis online. Dengan ini mereka yang berseteru setidaknya berpikir dari mana lagi mereka mendapatkan uang selain dari kita para konsumen pengguna jasa taksi. Apakah mereka akan menjual taksi mereka atau ikutan casting Game of Thrones season 6 karena bakat mereka untuk menghancurkan sesuatu sudah terlihat di aksi demonstrasi? Sejatinya mereka membutuhkan konsumen untuk mensejahterakan kehidupan mereka sebagai pengendara taksi.

Ada dua hal yang menjadi pokok permasalahan yaitu manusia dan kendaraan. Manusia berkaitan dengan siapa yang menggunakan dan siapa yang menyediakan jasa dan kendaraan berkaitan dengan media yang dikelola untuk memperjelas fungsi dari jasa yang ditawarkan oleh manusia. Gue coba membuat tiga skenario dari tiga sisi pandang sebagai pengelola, konsumen, dan pemerintah yang kali aja ini bisa jadi solusi dalam permasalahan ini. Syukur-syukur ini dibaca sama pengelola perusahaan taksi ataupun pemerintah. Di dalam pikiran gue, saat pemerintah atau pengelola perusahaan taksi baca blog gue, paling dijadiin rekomendasi untuk masuk pemblokiran program internet positif pemerintah.

Pertama gue memposisikan diri sebagai pengelola taksi konvensional. Gue coba memetakan apa saja rencana gue dalam membangun inovasi pada sebuah moda transportasi yang sudah masuk jaman teknologi ini. Hal yang menjadi fokus utama gue adalah karyawan. Gue mau karyawan di training dari cara berpikir dan cara komunikasi sehingga dapat meminimalisir kejadian seperti demonstrasi saat ini. Bagian training ini juga menyediakan kebutuhan yang diperlukan para karyawan agar kesejahteraan dapat dirasakan mereka. Gue rasa para pengendara taksi ini melakukan demonstrasi karena tekanan yang dirasakan mereka saat mengais rezeki jauh dari luar kota dengan pemikiran konservatifnya. Menurut mereka penghasilan supir taksi belum bisa menjamin jika munculnya taksi berbasis online. Persaingan ini menurut mereka merasa kurang percaya diri dari apa yang mereka dapatkan di perusahaan taksi tempat mereka bekerja. Maka dari itu fokus utama gue sebagai pengelola taksi konvensional adalah kesejahteraan karyawan sehingga karyawan merasa percaya diri sebagai tenaga penyediaan jasa taksi. Setelah men-training karyawan, gue merencanakan sebuah branding dengan segmentasi berdasarkan data-data lapangan mengenai angkutan umum dengan contoh output berupa promo dan servis. Misalnya dari segi promo gue coba menyesuaikan dengan sifat orang-orang Indonesia yang lebih memorial dan terhasut dengan promo-promo receh seperti "NAIK TAKSI DAPET ISTRI" atau "NAIK TAKSI GRATIS SELAMANYA TAPI GAK ADA JOK BELAKANG". Untuk segi servis, gue coba membuat sebuah pengalaman berbeda yang dirasakan konsumen misalnya dengan memberikan jasa nonton gratis di dalam mobil saat perjalanan ataupun memberikan konsumsi berupa pizza large saat menunggu kemacetan di dalam mobil. Tetapi tidak disarankan untuk memberikan pelayanan seks seperti fake taxi. Bisa-bisa digerebek sama ormas penyediaan jasa-jasa prostitusi karena menganggu pemasaran prostitusi konvensional #nambahmasalahbaru #elus2janggut #janggutabah2fpi

Fake Taxi

Kedua gue memposisikan diri sebagai konsumen dari pengguna taksi. Gue akan mendasari persepsi pemikiran gue agar dapat dengan bijak menanggapi permasalahan penyediaan jasa taksi di masyarakat. Sebenernya, gue tergelitik terhadap sikap teman-teman gue di sosial media, terutama pada sosial media path. Di sana mereka mendadak jadi komentator bak Bung Towel yang berapi-api menyaksikan pertandingan antar kampung dari kesebelasan RW 01 Pesanggrahan melawan kesebelasan RW 05 Kebon Jeruk. Dari komentar yang bersifat offensive maupun defensive, yang berdasarkan fakta sampai yang berdasarkan hawa nafsu. Beberapa gue coba paparkan sedikit komentar teman-teman gue di timeline path gue dan sedikit komentar gue tentang komentar teman gue #komentarception

"Dasar orang-orang gak berpendidikan! demo tapi gak tau secara spesifik masalahnya apa."
(Iya sih, tapi buktinya orang-orang berpendidikan juga kadang demo tapi gak tau masalahnya apa.)

"Salah sendiri kenapa sistem Bl*ue Bi*rd gak pake aplikasi online kaya Ub*er Ta*xi" 
(Yeeh, lo gak tau aja nyet mereka juga punya aplikasi online!)

"Demo ini pasti konspirasi untuk mengalihkan kasus Saipul Jamil!"
(Thanks man, di sini bisa jadi bahan tulisan gue.)

Maka dari itu kesimpulannya adalah gue coba membuka pikiran dari kita semua terutama teman-teman gue untuk mendasari pikiran kita berdasarkan data dan fakta yang ada. Jangan asal judgemental tanpa ada dasar argumentasi yang kuat. Bayangin lo ada di posisi mereka yang melakukan demonstrasi. Memangnya, mereka melakukan semua itu tanpa alasan? Justru alasan mereka yang gue udah sebutkan sebelumnya (walaupun cuma berupa hipotesa) merupakan alasan paling sederhana dibanding alasan para haters atau judgers (eh begini kan tulisannya?) para demonstran di sosial media dengan segala kerumitan yang akan timbul dibenak pembaca timeline sosial media itu sendiri. Dengan menyebarkan tulisan ini, gue berharap kita pemegang peranan penting sebagai konsumen jasa taksi akan terbuka dan menumbuhkan rasa empati kepada penyedia jasa taksi (di sini gue sebutkan supir). Harapan gue semoga pembaca blog ini menjadi tersesat terbuka dari kasus yang dihadapi sekarang.

Ketiga gue memposisikan diri sebagai pemerintah. Gue coba membuat dan memperketat regulasi tentang taksi konvensional dan keberadaan taksi online. Untuk taksi konvensional gue akan memperketat peraturan daerah jangkauan dan aturan mengangkut penumpang serta membuat pengelola menjamin kesejahteraan karyawannya yang menyesuaikan standar pemerintah. Untuk taksi berbasis online gue akan membuat aturan untuk mendaftarkan kendaraan mereka ke dalam transportasi umum. Semua manajemen ada dikendali pengelola taksi online dengan pengawasan pemerintah dan masyarakat. Untuk keseluruhan peranan penting ada di pundak pemerintah yang dibantu oleh masyarakat.

Itulah sedikit celoteh gue tentang apa yang terjadi dan gue sebagai masyarakat hanya bisa memberikan opini lewat tulisan ini dan sikap gue terhadap taksi-taksi yang beredar di masyarakat. Sedikit kutipan dari twitter @desianwar yang ada di bawah ini, gue coba merubah sedikit kalimatnya. Permisi teh Desi....


"In a world where business is driven by creativity, you either adapt or die."

Comments

Popular posts from this blog

Day 23: Kesehatan Kaki di Waktu Weekend

Day 21: Modernitas Area Bermain Anak

Perjalanan 3 tahun