Day 18: ”Jalan Pintas” Yang Tidak Layak Di Jalan Raya
Day 18
"Jalan Pintas" Yang Tidak Layak Di Jalan Raya
Setiap perjalanan pergi-pulang ke kantor gue di daerah Cempaka Putih, mata gue gak pernah absen untuk melihat pelanggaran lalu lintas. Dari mulai kelalaian pengendara kendaraan (baik motor atau mobil) ataupun memang karena hobi ngumpulin surat tilang polisi. Mungkin beberapa dari mereka berpikir jika mengumpulkan surat tilang minimal 10 lembar, surat tilang tersebut dapat ditukarkan dengan voucher makan atau mereka mendapatkan diskon 10% untuk masuk dufan, berlaku kelipatan. Pernah gue iseng menghitung berapa banyak pelanggaran lalu lintas yang bisa gue temukan di jalan raya yang biasa gue lewati. Jika gue punya wewenang seperti Polisi Lalu Lintas (Polantas) untuk menilang supir kendaraan mobil dan motor, gue dapat menghabiskan 189 ribu eksemplar surat tilang dan tangan gue langsung diamputasi di hari esoknya karena kebanyakan nulis surat tilang kepada pengendara kendaraan yang melanggar lalu lintas. Dalam satu hari, minimal ada 38 pelanggaran di sepanjang jalan raya dari rumah gue di Kebayoran Baru sampai ke daerah Cempaka Putih tempat kantor gue berada. Itu baru jalur gue berangkat dari rumah ke kantor. Untuk jalur pulang gue dari kantor menuju rumah, hanya ada sekitar 4-5 pelanggaran yang gue temukan. Gue berpikir kenapa pelanggaran lalu lintas ketika gue pulang kantor lebih sedikit daripada ketika gue pergi ke kantor? Padahal ketika gue pergi dan pulang, ruas jalan yang gue lewati hampir sama (hanya beberapa ruas jalan yang gue lewati berbeda ketika gue pergi dan pulang). Setelah gue selidiki selama hampir 2 tahun, ternyata penyebabnya adalah gue selalu pulang larut malam karena sering lembur, jadi gue jarang menemukan pelanggaran ketika di luar jam sibuk pulang kantor #HuFtB4n6eD
"Jalan Pintas" Yang Tidak Layak Di Jalan Raya
Sumber: Gue Sendiri Potret Pengendara Kendaraan di Jalan Raya yang Hobi "Motong Jalan" |
Setiap perjalanan pergi-pulang ke kantor gue di daerah Cempaka Putih, mata gue gak pernah absen untuk melihat pelanggaran lalu lintas. Dari mulai kelalaian pengendara kendaraan (baik motor atau mobil) ataupun memang karena hobi ngumpulin surat tilang polisi. Mungkin beberapa dari mereka berpikir jika mengumpulkan surat tilang minimal 10 lembar, surat tilang tersebut dapat ditukarkan dengan voucher makan atau mereka mendapatkan diskon 10% untuk masuk dufan, berlaku kelipatan. Pernah gue iseng menghitung berapa banyak pelanggaran lalu lintas yang bisa gue temukan di jalan raya yang biasa gue lewati. Jika gue punya wewenang seperti Polisi Lalu Lintas (Polantas) untuk menilang supir kendaraan mobil dan motor, gue dapat menghabiskan 189 ribu eksemplar surat tilang dan tangan gue langsung diamputasi di hari esoknya karena kebanyakan nulis surat tilang kepada pengendara kendaraan yang melanggar lalu lintas. Dalam satu hari, minimal ada 38 pelanggaran di sepanjang jalan raya dari rumah gue di Kebayoran Baru sampai ke daerah Cempaka Putih tempat kantor gue berada. Itu baru jalur gue berangkat dari rumah ke kantor. Untuk jalur pulang gue dari kantor menuju rumah, hanya ada sekitar 4-5 pelanggaran yang gue temukan. Gue berpikir kenapa pelanggaran lalu lintas ketika gue pulang kantor lebih sedikit daripada ketika gue pergi ke kantor? Padahal ketika gue pergi dan pulang, ruas jalan yang gue lewati hampir sama (hanya beberapa ruas jalan yang gue lewati berbeda ketika gue pergi dan pulang). Setelah gue selidiki selama hampir 2 tahun, ternyata penyebabnya adalah gue selalu pulang larut malam karena sering lembur, jadi gue jarang menemukan pelanggaran ketika di luar jam sibuk pulang kantor #HuFtB4n6eD
Dari sekian banyak pelanggaran di
jalanan yang gue temukan, ada satu pelanggaran di jalanan yang menurut gue
cukup mengancam keselamatan lalu lintas
pengendara kendaraan itu sendiri dan pengguna jalan lainnya (baik kendaraan di
sekitarnya, pejalan kaki, maupun tukang es podeng langganan gue yang lagi lewat di jalan raya).
Pelanggaran tersebut adalah “motong jalan”. Motong jalan di sini bukan
diartikan sebagai orang yang suka motong-motongin jalan pake gunting, lalu
diobras, dan dijual di Pusat Perbelanjaan Kain di Tanah Abang. Motong jalan di sini berarti memilih “jalan pintas” dengan berkendara melawan arah arus kendaraan yang seharusnya sehingga bisa sampai ke titik
tujuan dengan waktu tempuh yang lebih cepat. Gue yakin dari sekian juta orang pembaca
gaib blog gue, dalam sehari minimal kita melihat ada 1-2 pengendara
kendaraan bahkan lebih yang melakukan pelanggaran "motong jalan" untuk mengambil "jalan pintas" yang lebih cepat di jalan raya. Atau mungkin dari mereka yang suka melihat pelanggaran
tersebut turut meramaikan pelanggaran tersebut. Gue sendiri
mengakui, terkadang gue suka membiarkan ojek online yang gue tumpangi “motong jalan” dengan melawan arus kendaraan
yang melintas di jalan raya sambil pengendara ojek online yang gue tumpangi berkata kepada gue “SaiuoqwehjasahsbdhLebih cepet motong jalan bang!qkwejashd” seraya suara yang kurang
jelas dari supir ojek yang gue tumpangi karena hembusan angin dan partisi di antara kita berupa helm. Dari
sana gue sadar bahwa “motong jalan” merupakan hal yang membahayakan pengguna
jalan di sekitarnya dan pengendara itu sendiri. Maka dari itu, demi keselamatan lalu lintas gue gak mau “motong
jalan” ketika gue berkendara di jalan raya. Ataupun ketika gue menumpang ojek online dan mereka memilih untuk “motong
jalan”, gue menegur mereka dan coba untuk memberikan pengertian kepada mereka: “Pak,
mending lewat jalur itu (gue tunjukin arahnya) daripada motong jalan. Saya
takut kalo meninggal di jalan gara-gara ditabrak truk es krim akibat kita
motong jalan, cicilan rumah saya gak kebayar, dan debt collector-nya nyamperin ke kuburan saya. Khawatir pas
dikuburan, saya kepikiran masuk neraka. Itu aja udah bikin gak tenang, ditambah
lagi beban ditagih debt collector,
makin gak tenang saya.”
Menurut gue, pelanggaran lalu
lintas yang namanya “motong jalan” (gue gak tau nama pelanggaran ini disebutnya
apa) cukup mengancam keselamatan lalu
lintas pengendara kendaraan dan pengguna jalan di sekitarnya. Gue yakin di
masa lampau ketika pelanggaran ini belum ditetapkan sebagai pelanggaran lalu
lintas, banyak pengguna jalan yang merasa dirugikan sehingga menimbulkan angka kecelakaan
lalu lintas yang cukup tinggi pada masanya. Gue kurang mengetahui apakah dulu
sebelum ditemukannya kendaraan bermotor, banyak delman yang rusak atau kuda
yang mengalami cedera otot bahu dan kaki akibat tabrakan dengan pengguna jalan
lainnya ketika delman atau kuda tersebut berusaha untuk “motong jalan”. Karena
fenomena itulah, akhirnya “motong jalan” ditetapkan sebagai pelanggaran lalu
lintas. (mohon pak polisi yang membaca untuk memberikan apa nama pelanggaran
ini kepada saya).
Selain mengancam keselamatan
lalu lintas, pelanggaran “motong jalan” ini seringkali merepotkan pengguna
jalan lainnya sehingga menimbulkan kemacetan. Contohnya pada ruas jalan di
daerah Manggarai, tepatnya di terowongan dekat Pintu Air Manggarai Jakarta
Selatan. Setiap gue pulang kantor, jalanan ini selalu macet karena ulah
pengendara motor yang suka melawan arus arah jalur yang seharusnya. Setelah gue
selidiki, penyebab kemacetan di daerah tersebut karena penumpukan volume
kendaraan yang bergerak dari dua arah yang berlawanan di salah satu jalur arah yang
seharusnya. Bisa dibilang mereka “motong jalan” untuk mengambil "jalan pintas" mencapai ke titik Stasiun
Manggarai (atau daerah sekitarnya) dari arah Terminal Bus Manggarai. Jika
mereka harus memutar di tempat yang seharusnya, mereka harus menempuh ±400
meter yang menurut mereka memakan waktu tempuh yang lama. Belum lagi kalo sepanjang
jalan raya menuju arah putaran tersebut tidak macet. Maka dari
itu mereka memilih untuk “motong jalan” ketimbang harus memakan waktu tempuh
untuk memutar kendaraan di tempat yang seharusnya. Dari keuntungan yang mereka
rasakan justru membuat gue dan pengguna jalan lainnya dirugikan akibat “motong
jalan” massal oleh mereka yang hobi melanggar lalu lintas. Gue yang harusnya
bisa menempuh perjalanan dalam waktu 43 menit dari kantor untuk sampai ke rumah
harus merasakan dampak macet di terowongan dekat Pintu Air Manggarai yang
memakan waktu 4 menit. Waktu 4 menit tersebut seharusnya bisa gue memanfaatkan
untuk mandi sore, masak indomie goreng, ataupun membuat surat tilang untuk satu
kendaraan bermotor yang hobi “motong jalan” kalo gue jadi Polantas yang
bertugas di daerah tersebut.
Sumber: Dari Sini Terowongan Dekat Pintu Air Manggarai |
Menurut gue dibutuhkan kembali kesadaran
diri pengendara kendaraan terhadap pelanggaran lalu lintas ini. Pelanggaran
lalu lintas berupa “motong jalan” ini seharusnya bisa diminalisir (kembali
kepada pak polisi yang membaca ini, beritahukan saya apa nama keren pelanggaran
“motong jalan”), demi keselamatan lalu
lintas di jalan raya bagi pengendara kendaraan, pengguna jalan lainnya, dan
juga tukang es podeng langganan gue yang lagi lewat di jalan raya. Gue kurang yakin dengan penambahan
personil Polantas di suatu ruas jalan raya yang sering dilanggar bisa mengurangi
efek jera kepada pengendara kendaraan yang gemar “motong jalan”. Selain mungkin
karena mereka memang hobi mengumpulkan surat tilang, mereka mungkin belum mendapatkan
kejadian terburuk akibat pelanggaran lalu lintas “motong jalan” yaitu kecelakaan
berkendara di jalan raya. Oleh karena itu, demi keselamatan lalu lintas berkendara marilah kita sebagai pengguna
jalan raya turut aktif dalam berkendara secara aman, selamat, dan sejahtera serta
tidak melanggar peraturan lalu lintas selama berkendara di jalan raya. Dan
kembali perlu diingat bahwa mengumpulkan surat tilang bukanlah sebuah prestasi
dan surat tersebut tidak bisa ditukarkan menjadi voucher makan atau diskon
masuk dufan.
Comments
Post a Comment