Bolehkah Aku Seperti Ayah?
'Ibu, Aku pergi sekolah dulu ya.' Teriak Aku dari sudut ruangan yang akan mengantarku keluar dari rumah.
'Iya nak, hati-hati di jalan. Belajar yang rajin yah.' Pesan Ibu sembari melanjutkan mencuci pakaian yang sudah menggunung dihadapannya.
Pagi yang cerah. Jam enam pagi. Seperti biasa, nyanyian burung yang mendampingiku kala ingin berangkat ke sekolah, udara yang dingin selalu merasuki tubuhku, dan kabut tipis yang terus membayangiku saat di jalan. Aku selalu berangkat sekolah bersama Ayahku dengan menggunakan sepeda ontel miliknya yang sudah tertelan oleh waktu. Kunikmati perjalananku dengan memandang dan merasakan hawa pagi hari yang indah. Sesekalinya Aku bersenandung di bawah sinar matahari yang belum sepenuhnya menampakan dirinya. Terkadang, Aku membuka topik untuk berbicara dengan Ayah untuk mengisi kebosananku saat perjalananku ke sekolah. Tepat pukul 06.25 Aku sampai di sekolah. Tak lupa Aku berpamitan dengan Ayah sembari meminta uang saku. Kadang kala Aku meminta uang saku lebih kepada beliau, namun beliau hanya membalasnya dengan memberikanku senyuman manis yang terukir di wajahnya.
Aku adalah Andi, pelajar kelas 1 di sebuah Sekolah Menengah Pertama di dekat kampungku. Ayahku seorang pedagang mie ayam dan Ibuku adalah seorang buruh cuci. Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku adalah seorang buruh di suatu pabrik didekat kampungku. Hobiku adalah menulis. Setiap apa yang kulihat, kupandang, dan kejadian yang Aku alami akan kutulis di sebuah media persegi panjang yang berisikan tumpukan kertas yang tak kurang berjumlah 100 halaman. Aku tidak malu dengan keadaanku yang seperti ini walaupun teman-temanku mempunyai keadaan yang lebih baik denganku. Seringkali aku mendapat ejekan dari teman-teman sebayaku namun kuabaikan dan tetap tegar seperti pohon yang tetap tegak berdiri meskipun angin kencang menghadangnya. Prestasiku cukup membanggakan di sekolah. Aku selalu mendapat rangking 10 besar di kelas. Ini semua bisa kudapatkan dengan kerja kerasku, tak lupa dukungan dari Ayah, Ibu, dan Kakakku.
Pulang sekolah Aku sering membantu Ayahku untuk berjualan mie ayam di daerah kampungku. Menegakkan gerobak di pangkalannya dari jam empat sore sampai jam sembilan malam. Penghasilannya tidak menentu. Kadang cukup, kadang kurang. Walaupun begitu Aku merasa senang dan bersyukur apa yang didapatkan oleh Ayah saat berjualan mie Ayam. Tak lupa, di tengah-tengah kesibukkanku membantu Ayah, Aku membawa buku pelajaran dan buku tempat Aku bercerita, menyempatkan diri belajar dan menulis ceritaku, untuk mengisi waktu senggangku jika tidak ada pembeli.
Di suatu sore yang hening, di mana pembeli belum datang ke gerobak Ayah, Aku memecah suasana dengan membuka topik pembicaraan kepada Ayah.
'Ayah, apakah Ayah pernah memikirkan untuk mencari sebuah pekerjaan di suatu perusahaan atau suatu tempat?'
'Tidak nak, Ayah cukup bahagia dengan keadaan seperti ini walaupun penghasilannya pas-pasan. Lagipun Ayah hanyalah seorang lulusan SD. Tidak seperti kamu yang sudah melewati jenjang yang saat Ayah sekolah, hahaha.' Tawa Ayah sambil memukul-mukul kecil pundakku.
'Hahaha.' Aku hanya membalasnya dengan tawaku yang kecil.
Hening sesaat lalu Ayah bertanya kepadaku
'Kenapa kamu tanyakan hal itu nak?'
'Aku kasihan aja ngeliat keadaan keluarga kita yang pas-pasan, terkadang penghasilan Ayah dan Ibu jika dijumlah tidaklah cukup untuk membeli buku dan membayar uang sekolahku. Aku juga kasihan dengan kakak bekerja tetapi gajinya tidak sebanding dengan usahanya yang menurutku sudah terlalu keras.'
'Haha, kamu ini kenapa memikirkan hal itu. Sudah kamu fokus saja untuk sekolah belajar yang rajin. Alhamdulillah sejauh ini Ayah dan Ibu bisa membantumu untuk bersekolah.'
Keheningan kembali tercipta saat Aku tidak mempunyai topik untuk dibicarakan.
Tanpa sadar, suat pertanyaan untuk Ayah melintas dipikiranku.
'Ayah Aku ingin bertanya.'
'Bertanya apa nak?'
'Bolehkah Aku seperti Ayah, menjual mie ayam untuk menafkahkan keluargaku saat kubesar nanti?' Tanyaku polos.
Ayah pun terdiam. Tak ada ekspresi yang tergambar di wajahnya. Raut mukanya yang datar membuatku sedikit takut. Tak lama berselang senyumnya kembali muncul saat dia mengenggam bahuku dengan sifat kebapakannya.
'Nak sejauh ini kamu anak yang rajin, cerdas, soleh, patuh dengan orangtua dan kakakmu. Boleh saja kamu melanjutkan pekerjaan ini jika Ayah meninggal nanti, tapi Ayah menginginkan kamu untuk bisa lebih baik dari Ayah. Ayah melihat di matamu sebuah harapan besar kelak kamu akan sukses, lebih sukses dari Ayah. Kamu akan menjadi seorang yang hebat, seseorang yang bijak, seseorang kepala keluarga yang bisa memimpin suatu keluarga yang kamu dirikan nanti bersama istrimu. Lagi pun cita-cita kamu kan menjadi seorang penulis bukan menjadi seorang pedagang mie ayam seperti Ayah. Tapi ingat kalo sudah sukses nanti jangan lupa dengan gerobak mie ayam ini yah, gerobak yang menuntunmu kejalan kesuksesan kamu, hahaha.' Jawab Ayah dengan tertawa sambil menepuk-nepuk pundakku.
'Iya yah, hahaha.' Akupun mengangguk dengan menahan rasa tangis yang ingin pecah saat mendengar perkataan Ayah.
Di tengah-tengah pembicaraan itu, seorang pembeli pun datang untuk memesan mie ayam yang dijual oleh Ayahku.
'Nak ada pembeli datang, yuk kita layani'
'Oke yah!' Seruku sembari hormat kepadanya sambil bergegas untuk melayani sang pembeli.
Aku sungguh ingin menangis dihadapannya ketika Ayahku berkata dengan bijak yang ditujukan kepadaku. Ayahku selalu bijak dalam menjawab pertanyaan-pertanyaanku, tak lupa dengan tawanya yang khas ketika menyampaikan suatu pesan yang ditujukan kepadaku. Aku tersadar, cita-citaku bukanlah seorang penjual mie ayam melainkan ingin menjadi seorang penulis seperti yang dikatakan itu. Aku ingin mewujudkan cita-citaku ini. Aku berjanji kepada Ayah, kelak Aku sukses nanti. Aku akan selalu mengingat pesan Ayah dan juga gerobak yang dipakai Ayah berjualan mie ayam untuk menafkahi keluarganya.
Ayah, Aku berjanji akan mengejar cita-citaku, menjadi seorang penulis.
'Iya nak, hati-hati di jalan. Belajar yang rajin yah.' Pesan Ibu sembari melanjutkan mencuci pakaian yang sudah menggunung dihadapannya.
Pagi yang cerah. Jam enam pagi. Seperti biasa, nyanyian burung yang mendampingiku kala ingin berangkat ke sekolah, udara yang dingin selalu merasuki tubuhku, dan kabut tipis yang terus membayangiku saat di jalan. Aku selalu berangkat sekolah bersama Ayahku dengan menggunakan sepeda ontel miliknya yang sudah tertelan oleh waktu. Kunikmati perjalananku dengan memandang dan merasakan hawa pagi hari yang indah. Sesekalinya Aku bersenandung di bawah sinar matahari yang belum sepenuhnya menampakan dirinya. Terkadang, Aku membuka topik untuk berbicara dengan Ayah untuk mengisi kebosananku saat perjalananku ke sekolah. Tepat pukul 06.25 Aku sampai di sekolah. Tak lupa Aku berpamitan dengan Ayah sembari meminta uang saku. Kadang kala Aku meminta uang saku lebih kepada beliau, namun beliau hanya membalasnya dengan memberikanku senyuman manis yang terukir di wajahnya.
Aku adalah Andi, pelajar kelas 1 di sebuah Sekolah Menengah Pertama di dekat kampungku. Ayahku seorang pedagang mie ayam dan Ibuku adalah seorang buruh cuci. Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku adalah seorang buruh di suatu pabrik didekat kampungku. Hobiku adalah menulis. Setiap apa yang kulihat, kupandang, dan kejadian yang Aku alami akan kutulis di sebuah media persegi panjang yang berisikan tumpukan kertas yang tak kurang berjumlah 100 halaman. Aku tidak malu dengan keadaanku yang seperti ini walaupun teman-temanku mempunyai keadaan yang lebih baik denganku. Seringkali aku mendapat ejekan dari teman-teman sebayaku namun kuabaikan dan tetap tegar seperti pohon yang tetap tegak berdiri meskipun angin kencang menghadangnya. Prestasiku cukup membanggakan di sekolah. Aku selalu mendapat rangking 10 besar di kelas. Ini semua bisa kudapatkan dengan kerja kerasku, tak lupa dukungan dari Ayah, Ibu, dan Kakakku.
Pulang sekolah Aku sering membantu Ayahku untuk berjualan mie ayam di daerah kampungku. Menegakkan gerobak di pangkalannya dari jam empat sore sampai jam sembilan malam. Penghasilannya tidak menentu. Kadang cukup, kadang kurang. Walaupun begitu Aku merasa senang dan bersyukur apa yang didapatkan oleh Ayah saat berjualan mie Ayam. Tak lupa, di tengah-tengah kesibukkanku membantu Ayah, Aku membawa buku pelajaran dan buku tempat Aku bercerita, menyempatkan diri belajar dan menulis ceritaku, untuk mengisi waktu senggangku jika tidak ada pembeli.
Di suatu sore yang hening, di mana pembeli belum datang ke gerobak Ayah, Aku memecah suasana dengan membuka topik pembicaraan kepada Ayah.
'Ayah, apakah Ayah pernah memikirkan untuk mencari sebuah pekerjaan di suatu perusahaan atau suatu tempat?'
'Tidak nak, Ayah cukup bahagia dengan keadaan seperti ini walaupun penghasilannya pas-pasan. Lagipun Ayah hanyalah seorang lulusan SD. Tidak seperti kamu yang sudah melewati jenjang yang saat Ayah sekolah, hahaha.' Tawa Ayah sambil memukul-mukul kecil pundakku.
'Hahaha.' Aku hanya membalasnya dengan tawaku yang kecil.
Hening sesaat lalu Ayah bertanya kepadaku
'Kenapa kamu tanyakan hal itu nak?'
'Aku kasihan aja ngeliat keadaan keluarga kita yang pas-pasan, terkadang penghasilan Ayah dan Ibu jika dijumlah tidaklah cukup untuk membeli buku dan membayar uang sekolahku. Aku juga kasihan dengan kakak bekerja tetapi gajinya tidak sebanding dengan usahanya yang menurutku sudah terlalu keras.'
'Haha, kamu ini kenapa memikirkan hal itu. Sudah kamu fokus saja untuk sekolah belajar yang rajin. Alhamdulillah sejauh ini Ayah dan Ibu bisa membantumu untuk bersekolah.'
Keheningan kembali tercipta saat Aku tidak mempunyai topik untuk dibicarakan.
Tanpa sadar, suat pertanyaan untuk Ayah melintas dipikiranku.
'Ayah Aku ingin bertanya.'
'Bertanya apa nak?'
'Bolehkah Aku seperti Ayah, menjual mie ayam untuk menafkahkan keluargaku saat kubesar nanti?' Tanyaku polos.
Ayah pun terdiam. Tak ada ekspresi yang tergambar di wajahnya. Raut mukanya yang datar membuatku sedikit takut. Tak lama berselang senyumnya kembali muncul saat dia mengenggam bahuku dengan sifat kebapakannya.
'Nak sejauh ini kamu anak yang rajin, cerdas, soleh, patuh dengan orangtua dan kakakmu. Boleh saja kamu melanjutkan pekerjaan ini jika Ayah meninggal nanti, tapi Ayah menginginkan kamu untuk bisa lebih baik dari Ayah. Ayah melihat di matamu sebuah harapan besar kelak kamu akan sukses, lebih sukses dari Ayah. Kamu akan menjadi seorang yang hebat, seseorang yang bijak, seseorang kepala keluarga yang bisa memimpin suatu keluarga yang kamu dirikan nanti bersama istrimu. Lagi pun cita-cita kamu kan menjadi seorang penulis bukan menjadi seorang pedagang mie ayam seperti Ayah. Tapi ingat kalo sudah sukses nanti jangan lupa dengan gerobak mie ayam ini yah, gerobak yang menuntunmu kejalan kesuksesan kamu, hahaha.' Jawab Ayah dengan tertawa sambil menepuk-nepuk pundakku.
'Iya yah, hahaha.' Akupun mengangguk dengan menahan rasa tangis yang ingin pecah saat mendengar perkataan Ayah.
Di tengah-tengah pembicaraan itu, seorang pembeli pun datang untuk memesan mie ayam yang dijual oleh Ayahku.
'Nak ada pembeli datang, yuk kita layani'
'Oke yah!' Seruku sembari hormat kepadanya sambil bergegas untuk melayani sang pembeli.
Aku sungguh ingin menangis dihadapannya ketika Ayahku berkata dengan bijak yang ditujukan kepadaku. Ayahku selalu bijak dalam menjawab pertanyaan-pertanyaanku, tak lupa dengan tawanya yang khas ketika menyampaikan suatu pesan yang ditujukan kepadaku. Aku tersadar, cita-citaku bukanlah seorang penjual mie ayam melainkan ingin menjadi seorang penulis seperti yang dikatakan itu. Aku ingin mewujudkan cita-citaku ini. Aku berjanji kepada Ayah, kelak Aku sukses nanti. Aku akan selalu mengingat pesan Ayah dan juga gerobak yang dipakai Ayah berjualan mie ayam untuk menafkahi keluarganya.
Ayah, Aku berjanji akan mengejar cita-citaku, menjadi seorang penulis.
Comments
Post a Comment