Aku ingin menemui anakku

Terminal Senen, pukul 22.45 WIB

Hujan deras mengguyur kota Jakarta dengan terpaan angin kencang yang menghempaskan bak sampah yang berada di sampingku. Dingin dan berkabut. Hanya berselimutkan sebuah koran yang pada akhirnya koran itu hanyalah sebuah pelengkap aksesorisku dalam menyambut derasnya hujan di malam ini. Aku adalah Indra, laki-laki berusia 38 tahun dengan tinggi 170 centimeter.

Aku ingin bertemu dengan anakku Rina yang sudah 3,5 tahun lamanya aku tidak berjumpa dengannya. Dia tinggal di Semarang bersama istriku, tempat tinggal dan daerah asalku. Aku merantau ke Jakarta untuk mencari nafkah untuk kehidupan keluargaku. Alhamdulillah, walaupun hanyalah seorang buruh di sebuah pabrik, setidaknya tiga perempat dari penghasilannku aku kirimkan ke Semarang untuk menafkahi keluargaku.

Sebelum aku menemui anakku, aku ingin mencari sanak saudaraku yang tinggal tidak jauh dekat dengan Terminal Senen. Aku ingin meminjam uang kepada dia untuk pulang ke kampung. Maklum, aku sekarang lagi tidak punya uang. Tempat tinggalku saja aku sudah tidak punya. Tadinya aku tinggal di sebuah kontrakan kecil didekat Gambir. Berhubung aku tidak sanggup lagi membayar kontrakan karena kebutuhanku dan keluargaku makin besar yang tidak sebanding dengan gajiku sebagai buruh pabrik, aku pun diusir dari kontrakanku. Sanak saudaraku ini orangnya baik meskipun dia hanyalah pedagang asongan di Stasiun Senen. Mas Mono namanya. Dia juga berasal dari Semarang. Dia yang memberikanku tempat tinggal sementara saat aku pertama kali menginjakan kaki di Jakarta sebelum aku mendapatkan pekerjaan. Dia juga murah senyum dan taat beribadah. Karena kebaikannya itulah, nasib baik pun sering mengunjunginya. Maka dari itu aku ingin meminta bantuan kepadanya untuk meminjamkan uang kepadanya. Tapi sudah 2 tahun lamanya aku tidak bertemu dengannya. Semoga saja dia masih mengenalku, Indra saudaranya.

Lima belas menit perjalanan menuju rumahnya. Suasana hujan pun makin ganas. Air yang turun mengeroyokiku, dinginnya udara yang masuk kedalam tubuhku, ditambah lagi dengan kabut yang makin tebal karena embun dari sang hujan tersebut. Aku pun berjalan dengan buram di malam yang kelam. Berkat bantuan dua lingkaran cahaya kecil yang lalu lalang di sampingku, aku pun dapat berjalan dengan terarah.

Sampailah aku di sebuah rumah berlantai satu, berdinding batu bata yang lapuk terkena air selama bertahun-tahun lamanya yang tertulis "JAKARTA KERAS BUNG", dengan beratapkan sebuah genteng yang berlubang-lubang. Aku tidak salah lagi, ini pasti rumah Mas Mono, sanak saudaraku yang paling baik hati, yang mau membantu siapapun, termasuk aku, kalau dia mau.

Tok...tok...tok...
'Assalamualaikum........' Salamku memberikan getaran yang cukup untuk didengar oleh telinga Mas Mono.

Satu menit berlalu dan belum ada respon dari Mas Mono.

Tok...tok...tok... 
'Assalamualaikum....' Salamku yang kedua dengan volume suara yang kunaikan satu tingkat lebih keras dari sebelumnya.

Dua menit berlalu. Belum ada jawaban dari Mas Mono. Pikirku "Apa dia sudah pindah ya dari sini?" Memang sudah 2 tahun lamanya aku tidak berjumpa lagi dengannya. Mungkin saja dia sudah tertidur lelap karena kesehariannya menjadi pedagang asongan.

Tok...tok...tok...
'Assalamualaikum......' Salamku yang ketiga dengan volume suara yang kunaikan satu tingkat lebih keras dari sebelumnya dengan ketukan pintu yang kukeraskan dari sebelumnya.

Tiga menit berlalu. "Hmm, memang dia mungkin sudah pindah dari sini." pikirku negatif. Sebaiknya aku harus pergi dari sini sebelum banyak orang sekitar melihatku sinis karena aku sudah menganggu tidur mereka dengan ketukan dan suaraku yang bisa membangunkan mereka. Saat aku membalikkan tubuhku untuk pergi, suara 'Walaikumsalam...' terdengar dari balik pintu rumah Mas Mono yang kuketuk tadi. Aku pun kembali ke pintu rumah Mas Mono yang kuketuk tadi. Saat pintu rumah terbuka, terlihatlah sesosok pria yang berambut cepak dengan sarung yang menyelimuti tubuhnya yang tak lain dialah Mas Mono. Tapi saat menyadari bahwa pria yang mengetuk pintunya itu aku, dia nampaknya kaget setengah mati, tak ada kata lagi yang keluar ketika melihatku berdiri di depannya. Selang waktu tiga menit kebaikan Mas Mono pun muncul dari benaknya. Dia mempersilahkanku masuk ke dalam rumahnya, untuk menghindari keroyokan hujan dari langit pada malam itu.

'Kkkook kamu ada di sini? Bukannya kamu...'
'Iya mas aku ke sini ingin meminta bantuan ke Mas Mono. Boleh?'
'Meminta tolong apa? Kamu Indra kan?'
'Iya aku Indra mas, saudaramu. Boleh kah aku meminjam uang untuk aku pulang ke kampung? Aku ingin sekali pulang ke kampung untuk menemui anakku mas. Sudah 3,5 tahun aku tidak bertemu dengannya semenjak pekerjaanku yang begitu banyak mas.' Pintaku dengan memelas.
'Ke Semarang?'
'Iya mas, boleh ya mas? Aku mohon.... Sudah 3,5 tahun mas aku tidak melihat rupa anakku lagi semenjak aku di Jakarta. Hanya uang kirimanku sajalah tempat aku menitip rinduku kepada anakku Rina.' Sujudku di bawah kaki Mas Mono, berharap aku dipinjamkan uang olehnya.
'Bbbaiklah Indra, segeralah bangun dari sujudmu di kakiku ini, aku akan memberikanmu uang kepadamu.' Pintanya sambil menarik bangun aku dari sujudku mengharap minta tolong kepada Mas Mono.

Memang kebaikan Mas Mono dibandingkan oleh saudara-saudaraku lainnya tidak terkira. Kebaikannya melebihi kebaikan seorang dokter yang membantu pasien-pasiennya untuk menyembuhkan penyakit yang dialami oleh pasien-pasiennya. Hatinya yang begitu sucilah yang membuat Mas Mono ini dikenal banyak orang, termasuk aku sebagai orang yang dermawan nana soleh. Itulah Mas Mono saudaraku.

Mas Mono mengajakku untuk duduk di meja makan. Dengan seduhan teh panas bikinannya guna untuk menghangatkan tubuhku aku pun merasa nyaman berada di tempat Mas Mono. Walaupun kenyamanan untuk tinggal di tempat Mas Mono, aku tidak akan melupakan niatanku untuk bertemu Rina di Kampung. Sudah tekadku ingin bertemu dengan Rina di kampung. Lagi pun, aku tidak mau merepotkan Mas Mono. Sudah untung aku dipinjamkan uang olehnya.

Dia menuju kepadaku dengan membawa sejumlah uang digenggaman tangannya. Tergambar wajah penasarannya karena ketidakpercayaannya bahwa akulah Indra, yang memang Indra yang dia kenal.

'Ini, gunakan uang ini dengan bijak. Maaf aku hanya bisa memberikanmu sedikit dari hasil penghasilannku dua hari ini.' sambil memberikanku sejumlah uang berjumlah 200ribu.
'Mas Mono, ini sudah lebih dari cukup untuk pulang ke kampung mas. Terima kasih banyak atas bantuannya mas. Aku janji nanti aku kembalikan setelah aku...'
'Sudah tidak usah dikembalikan. Aku tau kamu sedang dalam keadaan sulit. Memang kehidupan di Jakarta ini sulit adanya. Kebutuhan yang begitu banyak dan kian mahal. Belum lagi pekerjaan bagi kaum kita yang memang tidak berbanding lurus dengan harga kebutuhan yang kita butuhkan. Aku sudah 10 tahun tinggal di sini yang bekerja sebagai pedagang asongan saja, harus mati-matian untuk banting tulang menghidupi diri sendiri agar bisa tetap tinggal di sini. Anggap saja ini amalku kepadamu. Semoga kamu bertemu dengan anakmu. Oh iya salam dari Mas Mono di sini.'
'Mas, sekali lagi terima kasih atas bantuannya, aku tidak tau harus bilang apalagi kepada Mas Mono.'
'Berterima kasihlah kepada Tuhan yang sudah memberikanku rezeki ini sehingga aku bisa membantumu untuk pulang kampung menemui anakmu.'

Jam menunjukan pukul 01.38 di jam dinding rumah Mas Mono.

'Sudah meningan kamu ganti baju biru yang kamu pakai itu. Jam tiga subuh nanti kamu harus pergi dari sini karena setahuku kalo ke Semarang itu harus lewat terminal Lebak Bulus. Nah untuk sampai ke terminal Lebak Bulus nanti kamu naik mobil bak temanku yang mengantarkan sayuran, sesampainya di sana kamu langsung naik bus menuju Semarang.'
'Apa itu tidak merepotkan teman mas itu?'
'Sudah tidak apa-apa nanti aku bayar dia, sudah kamu bersiap saja dulu. Ganti bajumu dan tidurlah sejenak. Jam setengah tiga nanti aku bangunkan.'
'Makasih mas sekali lagi atas bantuannya.'
'Sama-sama.'

Bersyukur aku mempunyai saudara sebaik Mas Mono. Di antara saudara-saudaraku yang lain Mas Mono lah yang terbaik. Sebelum-sebelumnya di saat aku terpuruk, tidak ada satupun saudara-saudaraku yang membantuku. Hanya Mas Mono-lah yang masih mau membantuku di saat aku sangat terpuruk seperti ini.

Pukul 02.38

'Indra, Indra bangun. Kamu harus bersiap sekarang.'

Suara Mas Mono yang membuka mataku untuk beranjak dari sofa tempat aku tidur. Berat rasanya untuk meninggalkan kenikmatan tidur yang sudah aku ciptakan sejak aku memulainya. Sayang aku memaksakan diri untuk bergerak menuju terminal Senen.

Langit masih meredupkan cahayanya, tetapi aktivitas Terminal Senen sudah ramai karena angkutan-angkutan kebutuhan-kebutuhan dapur yang tertumpuk di atas mobil yang siap didistribusikan ke pasar-pasar di Jakarta. Aku pun mengikuti langkah Mas Mono untuk menuju ke mobil bak temannya, tempat aku menumpang untuk pergi ke terminal Lebak Bulus. Sesampainya di mobil bak. Mas Mono meminta bantuan kepada temannya untuk mengantarkanku ke terminal Lebak Bulus.

'Loh kok kamu ada di sini?!' Seru teman Mas Mono yang kaget melihatku. Aku tidak tau kenapa dia berseru seperti itu. Kenal saja aku tidak dengannya.
'Iya dia saudaraku. Bolehkah aku berbicara denganmu sim?' Jawab Mas Mono sambil menggiring temannya itu menjauh dariku.

Aku tidak tahu apa yang dibicarakan Mas Mono dengan temannya yang dipanggil "siim" itu. Yang jelas aku berharap teman Mas Mono bisa mengantarkanku ke terminal Lebak Bulus tempat kau akan naik bus menuju Semarang. Tatapan mata teman Mas Mono yang menggambarkan ketidakyakinannya akan mengantarkanku membuatku khawatir.

'Indra, kenalkan ini Kasim temanku. Dia akan mengantarkan sayuran ke pasar yang ada di daerah Lebak Bulus. Mumpung tujuannya setelah terminal Lebak Bulus, dia akan mengantarkanmu sampai terminal Lebak Bulusnya.'
'Makasih Mas Mono atas bantuannya. Maaf merepotkan.'
'Tidak apa-apa kok.'
'Ya sudah langsung berangkat saja, kamu naik di bak saja. Ada ruang kosong di bak ini. Tapi ingat jangan menginjak sayurannya.' Tatap Mas Kasim kearah mataku dengan tegasnya.

Pukul 03.14 terpampang di jam kecil di depan setir Mas Kasim. Perjalanan yang cukup panjang bagiku. Tak ada obrolan sepanjang jalan. Tatapan Mas Kasim terhadapku lewat kaca kecil yang menggantung di depan membuatku semakin khawatir, apakah dia akan mengantarkanku benar-benar ke terminal Lebak Bulus?

Adzan berkumandang, mungkin sekitar pukul 04.40 aku sampai di terminal Lebak Bulus. Aku turun tepat di gerbang tempat bus-bus lalu lalang.

'Terima kasih Mas Kasim atas tumpangannya.'

Hanya anggukan kecil dengan tatapan mata yang masih sama seperti aku melihatnya saat aku dan Mas Kasim bertemu. Tak ada senyuman yang menghiasi wajahnya. Buram dan penasaran.

Pukul 05.00 selepas aku menunaikan solat subuh aku menunggu loket di terminal Lebak Bulus buka. Dituliskan di papan besar bahwa loket di buka pukul 06.00. Satu jam aku menunggu dengan baju pemberian Mas Mono. Aku merasa ada yang janggal disekitarku. Banyak orang menatapku dengan sinisnya, padahal aku saja tidak berbuat salah kepada mereka. Kenal saja tidak. Aku coba menghiraukannya, namun keadaan gelisah dan risih akan tatapan-tatapan orang disekitarku selalu membuatku ingin mencoba pergi dari sini. Tapi apa daya, aku harus mendapatkan tiket pertama untuk tujuan Semarang.

Loket dibuka dan tandanya aku sudah bisa membeli tiket menuju Semarang. Seratus lima puluh ribu aku keluarkan dari kantong celanaku untuk membeli satu tiket bus Sumber Kencono menuju terminal Terboyo di Semarang.

Rina, papa pulang nak.

Pukul 07.15 terlihat di jam dinding yang menggantung di kaca depan sang supir bus. Aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan anakku. Perkiraan delapan jam aku sampai di Semarang dengan pemberhentian mungkin 7-8 kali.

Dalam perjalanan keadaan serupa terjadi seperti di terminal Lebak Bulus tempat aku menunggu loket di buka. Tatapan sinis dari orang-orang sekitarku membuatku tambah gelisah. Ingin rasanya aku keluar dari bus itu, tapi apadaya aku hanya bisa menunggu sampai terminal Terboyo di Semarang. Aku coba menghiraukan kejadian ini.

Hujan yang deras membuat kaca yang di sebelahku berembun tebal. Aku tidak tahu apakah ini musim hujan? Hmm, buat apa aku pikirkan itu. Yang ada dipikiranku adalah Rina anakku. Sesampainya di sana, saat aku pulang menemuinya. Aku ingin memeluknya erat-erat.

Tepat pukul 15.00 aku sampai di terminal Terboyo, Semarang. Turun aku dari bus tumpanganku dengan keadaan yang masih sama seperti saat di perjalanan, basah dan deras. Berlarilah aku menuju tempat yang beratap untuk berteduh. Dan masih saja dengan keadaan yang seperti aku lihat di bus dan terminal Lebak Bulus. Tatapan orang-orang disekitarku yang sinis akan kehadiranku. Padahal aku saja tidak mengenal mereka dan berbuat salah kepada mereka. Kegelisahanku kian menyelimuti pikiranku sampai-sampai selimut gelisah ini terbuka setelah aku melihat seorang anak kecil dengan tinggi sepinggangku, berambut panjang, kulit sawo matang, dan bertanda goresan panjang di tangan kirinya yang berjualan kue di tengah hujan yang cukup deras. Tidak salah lagi, itu pasti Rina anakku. Tapi sebelum aku menemui Rina, aku berpikir "Kenapa dia berjualan kue. Apa mungkin dia menggantikan peran ibunya sebagai seorang penjual kue karena ibunya sakit?" Tak kuhiraukan pikiran yang sudah meracau di pikiranku. Pokoknya aku ingin bertemu dan memeluk Rina yang sudah 3,5 tahun lamanya aku tidak menjumpainya. Aku berlari ditengah hujan menuju anak kecil yang berjualan kue tersebut.

'Rina?' Tanyaku penasaran untuk meyakinkan bahwa anak kecil yang kutemui itu Rina.

Anak kecil itu membalikkan tubuhnya. Tiba-tiba nampan yang sedang dibawanya terjatuh di antara aku dan dia.

'Papa?' tanyanya dengan tatapan seperti orang kaget
'Iya nak ini papa.'

Refleks sang anak kecil itu memelukku dengan erat-erat tubuhku. Dia meraung menangis, yang terus memanggilku. Rasa haru yang tak terkira membuat langit juga ikut merasakan haru yang dirasakan aku dan Rina.

'Papa kemana saja? Kok bisa ada di sini? Bagaimana caranya kok bisa ke sini pah?'
'Kan papa mau ketemu kamu Rina. Mama mana?'
'Mama sudah pergi dengan lelaki lain meninggalkanku pah. Mungkin dia menikah lagi atau apa aku gak tau pah. Yang penting aku ketemu papa.' Jawab rina dengan nada yang bercampur dengan tangis akan kerinduannya kepadaku. Peluknya makin erat.

Mendengar itu hatiku langsung rasanya seperti ingin mati. Tak ada satupun kata-kata yang kukeluarkan setelah mendengar kata-kata dari Rina. Memang kebanyakan anak-anak berkata jujur dan apa adanya. Ya sudahlah apalagi yang harus kuperbuat, yang penting aku bisa bertemu dengan Rina.

Hujan semakin deras dan pelukan kami semakin erat.


'ANGKAT TANGAN DAN MENJAUH DARI ANAK ITU!!!' Seru dari seseorang yang memerintahkanku untuk melakukan hali itu.

'Papa kabur ya?'
'Maaf nak, papa cuma pengen ketemu kamu.'
'Rina ngerti. Jangan kabur lagi ya pah. Rina baik-baik aja kok. Nanti kalo papa udah keluar penjara, papa ketemu Rina lagi di sini ya. Rina janji, Rina gak akan kemana-mana.'

Pelukanku memperat, air mataku turun dengan derasnya seperti hujan pada saat ini. Pelukanku merenggang setelah teriakan kumpulan polisi menyeruku untuk kedua kalinya.

Aku pun menyerahkan diri ke polisi. Kasus penjualan sabu-sabu yang aku lakukan membuatku terjebak dalam penjara yang dingin dan kelam. Aku kena PHK oleh sebuah pabrik sehingga aku memilih untuk mencari pekerjaan lain. Sulitnya mencari pekerjaan membuatku buntu akan pikiran. Tidak ada jalan lain selain menjual sabu-sabu untuk memenuhi kebutuhan keluargaku yang semakin banyak dan untuk memenuhi kebutuhanku di Jakarta yang semakin mahal.. Aku memang pecundang yang tidak berguna.

Tapi satu hal aku syukuri setelah perjuangan yang cukup panjang ini. Aku bisa menemui anakku.







Comments

Popular posts from this blog

Day 23: Kesehatan Kaki di Waktu Weekend

Day 21: Modernitas Area Bermain Anak

Perjalanan 3 tahun