Papandayan Sampai Ayan (Part 1)
HALO KAWULA MUDA SE-INDONESIA, SE-TANAH, DAN SE-AIR. BALIK LAGI BERSAMA DAMAS.
SETELAH SEKIAN LAMA AKHIRNYA GUE NULIS LAGI DI BLOG INI.
*bersihin laba-laba*
Udah
lamaaaaaaa banget gue gak nulis lagi di blog ini, sampai pas gue mau mulai nulis lagi di sini, blog ini udah usang.
Seperti layaknya tempat-tempat tidak dimanfaatkan dengan baik (atau bahasa
arsitekturnya ruang negatif) di kota-kota besar. Gue melihat banyak sekali
gelandangan yang tidur, transaksi narkoba, waria-waria yang memanfaatkannya
untuk tempat prostitusi (oke, ini makin serem), dan lain-lain. Dengan mengumpulkan
tenaga, ilmu, kecengan (untuk motivasi), dan niat yang ada akhirnya gue
(memaksakan diri) untuk menghidupkan lagi blog ini.
Sejak
semester 4 kesibukan-kesibukan gue di dunia perkuliahan makin bertambah dengan padatnya jadwal
kuliah, tugas-tugas kuliah, dan kesibukan gue dengan organisasi yang gue ikutin
di kampus. Belum lagi ditambah dengan keikutsertaan gue dalam pemilihan bakal
calon ketua himpunan mahasiswa arsitektur di kampus. Kebetulan gue ditumbalkan
dicalonkan oleh angkatan gue sebagai perwakilan dari angkatan gue (yang
berakhir gagal di 10 besar #HuFtB4n6eD). Tidak berhenti di sana, perang melawan
hectic-nya perkuliahan demi merebut
kemerdekaan mahasiswa arsitektur di semester 4 ini sungguhlah berat. Segala hal dilakuin untuk melakukannya. Mengerjakan tugas H-1 sebelum deadline,
mengeluarkan duit untuk keperluan menggambar, memperdekat hubungan gue
dengan kecengan gue (walaupun tidak berpengaruh besar terhadap perkuliahan gue),
dan lain-lain. Tugas-tugas yang tidak berkeprikemahasiswaaan membuat tumpah darah
tinta yang membercak pada kertas-kertas tugas melengkapi penderitaan para
mahasiswa arsitektur. Satu persatu tumbang karena tidak kuat dengan perang ini.
Banyak alasannya, mulai dari tugasnya terlalu banyak dengan jatah waktu yang
sangat sedikit, dapet dosen killer
sampai akhirnya males untuk bertemu dosen tersebut, keasikan kerja sampai lupa
akan perkuliahannya, ataupun ingin ketemu kecengannya (yang kebetulan adik
angkatan bawah) makanya dia memutuskan untuk mengulang kuliah agar bertemu
dengan kecengannya tersebut (EH INI BENERAN LHO ADA). Hanya orang-orang bermental
baja yang bisa bertahan melewati perang menghadapi semester 4 di jurusan
arsitektur ini. Sisa-sisa jasad yang tertinggal dalam perjuangan ini melengkapi
interior rumah penderitaan kami dalam waktu enam bulan. Secercah harapan berupa
cahaya yang bersinar diujung perjuangan kami pun terlihat saat prajurit-prajurit yang berupa tugas telah kami bunuh satu persatu. Kami pun berusaha untuk meraih cahaya tersebut.
Setelah menelusuri sumber cahaya itu berada, sampailah kami di sumber cahaya
itu yang bertuliskan:
“MASIH ADA UAS NYET!”
Inilah reaksi kami saat menyadari bahwa masih ada UAS.
Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada kami pun (terpaksa)
mengikuti UAS yang berlangsung selama dua minggu. Dan brengseknya di saat kami
UAS pun masih ada pengumpulan tugas di mata kuliah tertentu yang bikin kita
niat kita makin kuat untuk membuat beberapa rencana:
1. Mengajak para mahasiswa arsitektur pindah secara besar-besaran ke
universitas negeri.
2. Demo besar-besaran untuk menduduki gedung jurusan
arsitektur di kampus gue dan meng-kudeta ketua jurusan dengan gue sebagai
gantinya (?).
Tiga hari berlalu.
Lima hari berlalu.
Satu minggu berlalu.
Satu minggu lebih satu
hari.
Ini kapan beresnya ya?
Satu minggu lebih dua
hari.
Satu minggu lebih tiga
hari.
Tuhan ambil nyawaku
sekarang.
FIUH! Akhirnya klimaks para mahasiswa arsitektur tingkat 2
terjadi saat UAS Arsitektur Pra-Modern yang di mana kita belajar mengenai
pelajaran sejarah arsitektur dari masa romawi kuno hingga masa...MASA BODOH AH,
YANG PENTING UDAH BERES UASNYA.
*joget jempol* *jempol kaki*
*back sound Tasya – Libur Telah Tiba*
Libur 3 bulan pun sudah digenggaman tangan para mahasiswa
arsitektur di kampus gue. Berbagai rencana liburan pun sudah direncanakan. Ada
yang magang, ada yang pergi ke luar kota, ada yang berniat nembak kecengannya,
dan lain-lain. Gue? Gue sama temen-temen gue memutuskan untuk mengawali liburan
semester ini untuk mendaki Gunung Papandayan.
Gunung Papandayan
Pendakian ke
Gunung Papandayan ini pun sebenarnya sudah terencana sejak lama. Tepatnya
semenjak sepupu gue masih berbentuk zigot. Setelah mengecek waktu yang pas
untuk pendakian ini adalah di liburan semester ini. Rencana pun di buat. Dari planning, organizing, sampai pusing. Gue sendiri pusing karena ikut dalam me-manajemen seperti perjalanan, logistik, berapa orang yang
bakal ikut, dan lain-lain. Sounding pendakian ini pun tidak luput dari perhatian kami para tim liburan
pendakian Gunung Papandayan. Dari pemberitahuan di grup line angkatan, omongan
dari mulut ke mulut, sampai mengajukan tweet
ke @infobdg (tapi sayang gak di RT sama admin @infobdg #HuFtB4n6eD). Sempat
terkena kendala karena ketidakjelasan dari liburan ke Gunung Papandayan ini
karena jadwal keberangkatan ke Gunung Papandayan bentrok sama jadwal pembayaran semester pendek (yang di mana ada beberapa anggota tim liburan ini membayar SP). Dari
ketidakjelasan inilah akhirnya dibicarakan oleh kami. Kebetulan gue (yang seenaknya
ditunjuk sama temen gue) jadi koordinator tim liburan Gunung Papandayan ini. Permasalahan ketidakjelasan ini diperbincangan
dan sempat ada isu diundur (yang lagi-lagi seenaknya diundur sama temen gue)
karena tidak mau meninggalkan teman gue yang terhambat pembayaran semester pendek. Setelah melewati pembahasan yang panjang pada akhirnya diputuskanlah hari selasa
tanggal 27 Mei 2014 sebagai jadwal keberangkatan ke Gunung Papandayan. Logistik pun
sudah dipersiapkan oleh masing-masing teman gue yang ikut pendakian ke Gunung
Papandayan, mulai dari sleeping bag, makanan, segala macem lah. Disinilah muncul otak
bisnis gue. Kalo aja barang-barang dari teman-teman gue dikumpulkan, gue bisa
buka cabang Alfamart di gunung nanti.
Banyak orang
(belum termasuk tuyul yang gue ajak) yang ikut dalam Tim Liburan Gunung Papandayan ini ada 26 orang. Cukup banyak
untuk membuat sebuah kesebelasan dengan 1 tim berjumlah 11 orang lengkap dengan
satu orang sebagai cadangan dan satu orang lagi sebagai tukang cukur pemain. Meeting Point diadakan di kampus jam
06.00 dan berangkat jam 07.00 pagi. Diulangi sekali lagi, MEETING POINT DIADAKAN DI
KAMPUS JAM 06.00 DAN BERANGKAT JAM 07.00 PAGI.
Kenyataannya jam 07.00 baru ngumpul setengah rombongan “Tim
Liburan Gunung Papandayan” #HuFTB4n6eD
Permasalahan kembali muncul saat gue hendak menyewa tenda
pada hari keberangkatan (karena menimbang masalah waktu penyewaan). Ternyata
tempat penyewaan langganan gue masih tutup. Terpaksa gue dan teman-teman gue
menunggu hingga penyewaan tenda tempat langganan gue buka. Setelah menunggu
satu jam, akhirnya tempat penyewaan tenda langganan gue buka. Bad news-nya lagi, saat gue datang ke tempat penyewaan (yang sempat dikira mas-mas yang giat mencari dana untuk pembangunan masjid), tenda berkapasitas
banyak yang akan gue sewa ternyata engga ada stok-nya. Terpaksa gue
mencari-cari tempat penyewaan lain yang menyewakan tenda berkapasitas banyak, sudah
menemukan tenda berkapasitas banyak, ternyata harga sewanya mahal. Balik
lagi deh ke tempat langganan gue dengan menyewa banyak tenda berkapasitas
sedikit. Sembilan tenda gue sewa. Sempat ada celetukan dari pegawai setempat ke gue. "Banyak-banyak amat, mau buat rumah di gunung jang?"
Setelah keribetan menyewa tenda terlewati, berangkatlah kami
pada jam 09.24 dari kampus menuju Terminal Cicaheum dengan menaiki angkot dari
depan kampus. Empat orang dari rombongan kami menggunakan motor langsung ke Gunung Papandayan. Dengan
membayar tiga ribu rupiah sampailah kami di Terminal Cicaheum. Di sanalah dengan
setelan “Anak Gunung Banget” kami diserbu oleh beberapa orang layaknya tersangka koruptor yang baru keluar dari kantor pemeriksaan KPK kemudian diserbu wartawan sambil melempar pertanyaan tidak bermutu seperti:
"Apakah bapak tersangka korupsi?"
"Yaeyalaaah, namanya juga udah tersangka. Gimana seeh."
Karena dengan
setelan “Anak Gunung Banget” pasti mereka sudah mengendus tujuan kami yaitu ke
luar kota. Bertemulah kami dengan beberapa orang yang perawakannya
seperti om-om desa yang sedang mencari gadis kembang desa. Saat menyebutkan tujuan yang akan kita tuju yaitu Simpang Desa
Cisurupan, barulah di sana kami ditawari mini bus (mobil elf) dengan tujuan Simpang
Desa Cisurupan. Setelah gue dan teman gue Kahfi nego dengan supir mini bus yang
akan kita tumpangi akhirnya disepakati biaya 440 ribu untuk sampai ke Simpang
Desa Cisurupan (satu orang membayar 20 ribu). Di sini kesaktian dari para om-om
pencari kembang desa itu dibuktikan. Entah pake ilmu sulap apa satu mini bus berkapasitas
16 orang disulap menjadi satu mini bus berkapasitas 22 orang. Gue yakin Uya
Kuya pun gak bakal bisa melakukannya. And
then, off we beggining this journey.
Sebelumnya gue memberitahukan kepada teman-teman gue bahwa perjalanan akan memakan waktu selama
4 jam lebih yang di mana belum diperkirakan macet segala macemnya. Perjalanan
pun dimulai. Walaupun berdesakkan kami pun masih bisa menikmati perjalanan
dengan menertawakan teman gue yang kebetulan muntah karena mabok darat (untung
bukan mabok janda!), saling mengejek satu sama lainnya, dan bahan-bahan candaan lainnya yang menggerus intelejensia kami. Sempat
berhenti sejenak untuk mengisi bensin sambil mencari makanan kecil dan
juga membenarkan posisi pantat yang bergeser 5 derajat dari tulang pinggul kami
(gara-gara desak-desakan). Setelah beristirahat sejenak, kami pun melanjutkan
perjalanan sampai Simpang Desan Cisurupan.
Sesampainya di Simpang Desa Cisurupan kami beristirahat untuk
solat dan membeli perbekalan untuk makan malam nanti sambil mencari mobil bak
yang akan mengangkut kami seperti domba untuk sampai ke pos informasi. Nego kembali terjadi
saat menemukan mobil bak yang akan mengangkut rombongan. Gue, Kahfi, dan Kiki
‘vespa’ yang melakukan nego-menego dengan om-om berperawakan tambun dan kumisan. Nego-menego ini bisa dibilang seperti transaksi narkoba yang dilakukan bos jahat di film-film action dengan agennya. Om-om tambun dan kumisan itu bos jahatnya dan kami bertiga sebagai agennya.
Agen minyak jelantah lebih tepatnya. Kita bertiga nego sampai bego dan disepakati keluarlah biaya satu mobil 220 ribu untuk satu mobil bak (kita menyewa
2 mobil bak) dengan kewajiban satu orangnya membayar 20 ribu. Perjalanan pun
diteruskan menggunakan mobil bak dari Simpang Desa Cisurupan mencapai pos
informasi. Saat perjalanan, jalanan yang dilewati rusak, sampai badan kami pun
terombang-ambing. Sempat kepikiran tarif yang dikenakan om-om tambun ini
mungkin termasuk dengan wahana “JALANAN RUSAK” yang tidak sengaja terbuat dan belum
terurus oleh pemerintah kota setempat. Gue meng-iyakan pikiran aneh gue itu. 20
menit berlalu dan kami pun sampai di pos informasi Gunung Papandayan.
Sesampainya
di pintu masuk Gunung Papandayan kami membayar 4ribu/orang untuk masuk dan berkemah. Kali
ini Adhil mengambil alih untuk mengumpulkan uang dan membuat laporan kepada
“ranger” (bahasa kerennya untuk penjaga taman nasional yang bekerja secara
resmi dan digaji pemerintah kota. Kalo ditambah kostum warna-warni+jam tangan
yang bisa nelpon jadilah power ranger). Setelah melakukan administrasi dan
laporan kepada “ranger” untuk menyerang monster, kami pun berkumpul dan
berdoa sebelum memulai pendakian.
Ini baru setengahnya.
Ini setengahnya lagi.
Ceritanya lagi mau berdoa.
Dan bersiap untuk mendaki. Yihaaa.
Pendakian dimulai pukul 16.30. Banyak dari anggota tim liburan Gunung Papandayan (termasuk gue) tampak riang karena baru pertama kali ke Gunung Papandayan dan fotogenic ketika melakukan pendakian. Segalanya di foto, dari foto narsis sampai fotokopi (lho?). Mau capek apa enggak yang penting gaya nomor satu. Pendakian kemudian melewati lembah belerang yang mengeluarkan bau belerang (yaiyalah, masa iya bau nasi goreng?!). Biasanya belerang ini lebih aktif mengeluarkan semburan asap ketika jam 17.00, maka dari itu pendakian untuk umum sudah ditutup pada jam 17.00. Tak peduli dengan bau belerang kami pun masih terdecak kagum dengan alam sekitar. Dan juga untuk foto-foto.
Gaya nomor satu.
Kurang tulisan "JIKA ANDA MENEMUKAN ANAK INI SEGERA LAPOR POS POLISI TERDEKAT"
Segala kelakukan aneh-aneh gue.
Gak ada dayang-dayang yang lagi nyuci selendang.
Setelah melewati lembah belerang, kami melanjutkan perjalanan sampai pos pertama. Di pos pertama ini kami beristirahat sejenak sambil melapor kembali kepada “ranger” untuk pendataan berapa orang yang akan berkemah nanti. Setelah hari sudah mulai gelap, kami pun mempersiapkan penerangan untuk membantu perjalanan kita seperti lilin-lilin kecil, aroma therapi, kondom (lho?). Bukan-bukan, kami menyalakan senter dan headlamp untuk menerangi perjalanan sampai Pondok Saladah. Jam 18.43 sampailah kami di Pondok Saladah. Di sana kita melihat banyak sekali tenda-tenda yang terpasang, artinya cukup ramai untuk Pondok Saladah ini. Sempat kebingungan mencari spot untuk 9 tenda yang dipasang bersamaan. Dengan izin Tuhan Yang Maha Esa, kami menemukan tempat yang pas dan kebetulan enggak terlalu jauh dengan wc umum yang ada di sana.
Setelah menemukan spot yang pas untuk mendirikan tenda, kami bergerak untuk mendirikan tenda, menyiapkan logistik yang ada seperti makanan dan minuman, dan persiapan perapian. Semuanya ikut andil dalam pendirian tenda, logistik, dan perapian. Gue biasanya menempatkan diri di divisi perapian yang menyiapkan perapian, mencari kayu bakar, dan membuat api. Setelah tenda dan logistik beres (dan masih menunggu divisi perapian membuat api), kami membuat makan malam berupa nasi+mie+abon+cabai yang kaya akan vitamin A (Arang yang abunya terbang dan masuk ke dalam makanan), vitamin B (Bodoh), zat besi (besi-besi yang berkerak pada dinding misting), dan lain-lain. Walaupun makanan tersebut dapat membunuh setengah populasi binatang-binatang yang ada di Taman Safari, kami pun menikmati makanan tersebut seperti layaknya makan lasagna di restoran Italia. Sambil menunggu api yang tak kunjung beres oleh divisi api (padahal catatan pribadi, gue yang udah pengalaman naik gunung 4 kali tapi gak bisa-bisa buat api) kami berkumpul mengelilingi kayu bakar yang tak kunjung terbakar untuk menghangatkan diri sambil ngobrol-ngobrol. Pembicaraan ngalor-kidul, mulai dari gosip angkatan sampai hal-hal yang tak penting untuk dibahas. Tawa canda menjadi jaket kami dari hembusan dingin yang mencoba menguliti tubuh kami.
Berniat
untuk meliat sunrise di daerah hutan mati, kami memutuskan untuk tidur. Waktu
itu jam menunjukkan pukul 22.19. Dan gue masih berusaha untuk menyalakan api
untuk menghangatkan diri sampai akhirnya gue ketiduran di luar tenda karena
putus asa untuk menyalakan api. Beratapkan langit bertabur bintang. Melihat
pola yang tersusun atas bintang-bintang, terbayang akan senyumannya yang menawan.
Mata yang meyakinkan atas setiap senyumannya yang dibentuk olehnya. Khayalan
bintang makin kuat dengan mengingatkan saat bersamanya menjalani momen-momen
indah. Dan momen-momen indah itu dirusak dengan hadirnya Arif Ramjamil (yang
kebetulan sama bodohnya dengan gue berusaha untuk menyalakan api di saat
kayu-kayu sudah habis) yang tidur sebelah gue layaknya seperti sepasang kekasih
yang mengalami disorientasi seksual. Kampret.
Bintang-bintang yang menjadi atap Gunung Papandayan. Dan bukan wallpaper hp.
To be continued.
Comments
Post a Comment