Oh, Ternyata...
Bandung. Gue udah kenal kota ini sejak tau bintang film bokep ada di sana kakak gue ingin mengambil kuliah di daerah tersebut. Gue mulai tertarik dengan Bandung karena sejarah-sejarah yang gue pelajari saat gue kelas 5 SD. Waktu gue belajar Pelajaran IPS waktu itu, gue tertarik dengan sejarah di saat Konferensi Asia Afrika yang di gelar di suatu tempat di Bandung, tepatnya di Jalan Braga. Di sana terdapat sebuah gedung, tempat berlangsungnya kongres tersebut. Nama gedung tersebut adalah Gedung Merdeka yang nanti gue bakal jelasin lebih lengkapnya. Untuk posting-an kali ini gue akan bercerita tentang sejarah-sejarah yang terdapat di kota Bandung.
Berawal dari himpunan di kampus gue, gue bersama angkatan gue dan panitia melakukan kegiatan yang bisa disebut juga "Jalan Woles". Kegiatan ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui bangunan-bangunan heritage (bangunan yang mengandung nilai sejarah) disekitar balai kota di Bandung dengan berjalan kaki. Karena jurusan yang gue anut adalah jurusan arsitektur, maka fardhu a'in (wajib) hukumnya untuk mengetahui bangunan-bangunan heritage tersebut. Dengan niat (dan bayar 20rb rupiah. Hiks..) maka gue mengikuti acara tersebut. Namun dengan harga 20rb rupiah gue merasa puas karena gue mendapatkan ilmu yang sangat berarti (dan konsumsi yang makanannya gue belum pernah makan semenjak 1 tahun terakhir). Perjalanan yang dimulai dari Balai Kota Bandung, lalu dilanjutkan dengan jalan mengitari daerah sekitar Braga, sampai akhirnyahampir mau meninggal ditempat karena kecapekan jalan kembali ke Balai Kota Bandung.
Pembagian kelompok pun dilaksanakan dengan bertujuan untuk mempermudah saat perjalanan dan penjelasan ketika melihat suatu bangunan arsitektur yang bakal dilihat oleh peserta "Jalan Woles". Cukup pintar dengan pembagian kelompok ini, mengingat jumlah mahasiswa arsitektur angkatan gue cukup banyak sehingga dipecah menjadi kelompok. Kalo gak dipecah menjadi kelompok, kebayangkan kalo rame-rame jalan menyusuri daerah-daerah Braga, nanti bakal dikira orang-orang sana mahasiswa arsitektur kampus gue berdemo menuntut pemerintah untuk menggratiskan seluruh biaya perkuliahan yang ditujukan untuk mahasiswa arsitektur di kampus gue. Hmm, khayalan gue terlalu jauh. Gue dapet kelompok 14 yang beranggotakan 8 orang (maaf gue gak sebutin nama-namanya) dan 3 orang yang bakal jadi guide kelompok gue. Guide tersebut adalah kakak angkatan di atas gue, Kang Wildan (kalo gak salah namanya itu), dan 2 guide yang gue lupa Teteh sama Akang siapa jadi gue sebut aja Teh Sariwangi dan Kang Kung. Jadi mereka yang bakal menemani dan memberikan informasi untuk kelompok gue.
Nb: Setelah ini gue akan bercerita dan menunjukkan gambar-gambar bangunan heritage yang gue kunjungi. Ada beberapa gedung yang gue gak dapet fotonya karena gelap dan kelupaan. Sama maaf juga atas resolusi kamera gue yang kurang bagus untuk berfoto, jadi mungkin beberapa gambar tidak tampak jelas.
Dimulai dari Balai Kota Bandung.
(Gak ada fotonya. Kelupaan)
Bangunan ini sekarang jadi kantor pemerintahan Bandung (eh iya bukan, lupa gue. Kalo salah, maaf yak). Dulu pada zaman Belanda, gedung tersebut jadi tempat gudangnya kopi. Jadi, para petani-petani akan menyimpan hasil panen kopinya di sana. Beda saat zaman sekarang, kopi bakal disimpan di Alfa*mart, Indo*maret, dan toko-toko swalayan lainnya (iye, kalo udah dikemas dan dijual geblek). Di sekitar sana juga terdapat taman-taman yang dulu jadi tempat nongkrong pribumi-pribumi kaya dan orang-orang elit Belanda buat pamer-pamer mobil dan sebagainya. Kalo zaman sekarang anak-anak muda biasa nongkrong di cafe-cafe, SB Mart (orang Bandung pasti tau), Circle K, dan lain-lain. Kalo dulu tempatnya di sana, taman balai kota. Fungsi taman sekarang adalah social center masyarakat Bandung.
Arsitekturnya, saudara jauh gue, Pieter Siithoff. Kerennya bangunan ini adalah terlihat gaya Arsitek Landscape yang gue gak tau apa itu artinya.
Lanjut jalan ke Gereja Bethel, cuma 3 langkah (dinosaurus) dari Balai Kota Bandung.
(Kasusnya sama, gak ada fotonya. Kelupaan)
Bangunan ini menjadi tempat ibadah orang-orang Belanda pada zamannya. Gak tau sih masih dibuka buat umum apa enggak (lupa nanya ke guide gue). Gereja ini di bangun tahun 1926 dengan arsitek yang masih saudara jauh gue Ir.C.P Wolff Schoemaker. Saat mendengar Teh Sariwangi menyebut si-Schoemaker ini dengan sebutan syumaker, gue sempet kaget. "Oh, jadi sebelum menjadi pembalap, si-Schoemaker ini menjadi arsitek toh" pikir gue. Gue manggut-manggut kaya patung hoka-hoka bento yang ada di pintu masuknya. Setelah gue sadari ternyata Schoemaker yang ini beda dengan syumaker pembalap.
Schoemaker ini mempunya ciri khas, menerapkan di setiap rancangan bangunannya ber-teori simetris. Jadi semua sisinya bentuknya sama dan setara. Misalnya, jika ada tower di kanan maka sebelah kiri dibuat tower yang sama tingginya atau didepannya mau gak dibangun, belakangnya juga sama dia gak dibangun (terus apa yang dirancang nyet). Dan disetiap bangunan rancangannya, terdapat ukiran-ukiran jawa. Tapi untuk di bangunan ini, si Schoemaker tidak menggunakkan teori simetris. Bosen kali ye, makanya dia buat Gereja Bethel ini berbeda dengan rancangan-rancangan sebelumnya. Untuk ukiran, dia tetap memakainya sebagai ciri khas Akang Schoemaker ini.
Mampir bentar ke Gedung Indonesia Menggugat (Landraad)
(Gak jauh beda sama sebelumnya, gak ada fotonya. Kelupaan)
Arsiteknya masih sama, Akang Schoemaker dengan bantuan Ir. Soekarno. Saat itu Soekarno lagi gawean (kerja magang) sama Akang Schoemaker. Dengan memakai ciri khas-nya berukir dan simetris, bangunan ini berfungsi sebagai kantor pengadilan biasa pada zamannya. Sekarang fungsinya untuk tempat diskusi, pameran, dan pementasan.
Diteruskan ke Jembatan Viaduct.
Jembatan ini merupakan jembatan yang menggunakan pondasi "cakar ayam" yang merupakan pondasi yang pertama kalinya di Bandung. Pondasi tersebut ditemukan oleh Prof. Ir. R.M Sedyatmo. Kalo gue misalnya jadi insinyur, gue akan mengagas dan menciptakan pondasi "potongan ayam tanpa tulang, dibalur dengan saus BBQ dengan sentuhan keju mozzarella di atasnya".
Pernah pada waktu itu (gak tau kapan) sungai ini bakal jadi venesia-nya Bandung, namun karena masyarakat di sana yang mungkin masih menerapkan metode "Kalo ada sungai, buang sampahnya di situ aja" maka sungai tersebut menjadi kotor dan wacana tersebut belum direalisasikan. Padahal jalur air ini menghubungkan titik-titik penting di kota Bandung.
Menyusuri sepanjang jalan yang gue gak tau namanya apa.
Setelah gue liat kertas, ternyata jalan yang gue susurin bersama kelompok dan guide gue adalah Jl. Banceuy. Nama pemiliknya kopi aroma ini Tan Houw Sian dan Widyapratama (generasi ke-2 nya).
Berawal dari himpunan di kampus gue, gue bersama angkatan gue dan panitia melakukan kegiatan yang bisa disebut juga "Jalan Woles". Kegiatan ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui bangunan-bangunan heritage (bangunan yang mengandung nilai sejarah) disekitar balai kota di Bandung dengan berjalan kaki. Karena jurusan yang gue anut adalah jurusan arsitektur, maka fardhu a'in (wajib) hukumnya untuk mengetahui bangunan-bangunan heritage tersebut. Dengan niat (dan bayar 20rb rupiah. Hiks..) maka gue mengikuti acara tersebut. Namun dengan harga 20rb rupiah gue merasa puas karena gue mendapatkan ilmu yang sangat berarti (dan konsumsi yang makanannya gue belum pernah makan semenjak 1 tahun terakhir). Perjalanan yang dimulai dari Balai Kota Bandung, lalu dilanjutkan dengan jalan mengitari daerah sekitar Braga, sampai akhirnya
Pembagian kelompok pun dilaksanakan dengan bertujuan untuk mempermudah saat perjalanan dan penjelasan ketika melihat suatu bangunan arsitektur yang bakal dilihat oleh peserta "Jalan Woles". Cukup pintar dengan pembagian kelompok ini, mengingat jumlah mahasiswa arsitektur angkatan gue cukup banyak sehingga dipecah menjadi kelompok. Kalo gak dipecah menjadi kelompok, kebayangkan kalo rame-rame jalan menyusuri daerah-daerah Braga, nanti bakal dikira orang-orang sana mahasiswa arsitektur kampus gue berdemo menuntut pemerintah untuk menggratiskan seluruh biaya perkuliahan yang ditujukan untuk mahasiswa arsitektur di kampus gue. Hmm, khayalan gue terlalu jauh. Gue dapet kelompok 14 yang beranggotakan 8 orang (maaf gue gak sebutin nama-namanya) dan 3 orang yang bakal jadi guide kelompok gue. Guide tersebut adalah kakak angkatan di atas gue, Kang Wildan (kalo gak salah namanya itu), dan 2 guide yang gue lupa Teteh sama Akang siapa jadi gue sebut aja Teh Sariwangi dan Kang Kung. Jadi mereka yang bakal menemani dan memberikan informasi untuk kelompok gue.
Nb: Setelah ini gue akan bercerita dan menunjukkan gambar-gambar bangunan heritage yang gue kunjungi. Ada beberapa gedung yang gue gak dapet fotonya karena gelap dan kelupaan. Sama maaf juga atas resolusi kamera gue yang kurang bagus untuk berfoto, jadi mungkin beberapa gambar tidak tampak jelas.
Dimulai dari Balai Kota Bandung.
(Gak ada fotonya. Kelupaan)
Bangunan ini sekarang jadi kantor pemerintahan Bandung (eh iya bukan, lupa gue. Kalo salah, maaf yak). Dulu pada zaman Belanda, gedung tersebut jadi tempat gudangnya kopi. Jadi, para petani-petani akan menyimpan hasil panen kopinya di sana. Beda saat zaman sekarang, kopi bakal disimpan di Alfa*mart, Indo*maret, dan toko-toko swalayan lainnya (iye, kalo udah dikemas dan dijual geblek). Di sekitar sana juga terdapat taman-taman yang dulu jadi tempat nongkrong pribumi-pribumi kaya dan orang-orang elit Belanda buat pamer-pamer mobil dan sebagainya. Kalo zaman sekarang anak-anak muda biasa nongkrong di cafe-cafe, SB Mart (orang Bandung pasti tau), Circle K, dan lain-lain. Kalo dulu tempatnya di sana, taman balai kota. Fungsi taman sekarang adalah social center masyarakat Bandung.
Arsitekturnya, saudara jauh gue, Pieter Siithoff. Kerennya bangunan ini adalah terlihat gaya Arsitek Landscape yang gue gak tau apa itu artinya.
Lanjut jalan ke Gereja Bethel, cuma 3 langkah (dinosaurus) dari Balai Kota Bandung.
(Kasusnya sama, gak ada fotonya. Kelupaan)
Bangunan ini menjadi tempat ibadah orang-orang Belanda pada zamannya. Gak tau sih masih dibuka buat umum apa enggak (lupa nanya ke guide gue). Gereja ini di bangun tahun 1926 dengan arsitek yang masih saudara jauh gue Ir.C.P Wolff Schoemaker. Saat mendengar Teh Sariwangi menyebut si-Schoemaker ini dengan sebutan syumaker, gue sempet kaget. "Oh, jadi sebelum menjadi pembalap, si-Schoemaker ini menjadi arsitek toh" pikir gue. Gue manggut-manggut kaya patung hoka-hoka bento yang ada di pintu masuknya. Setelah gue sadari ternyata Schoemaker yang ini beda dengan syumaker pembalap.
Schoemaker ini mempunya ciri khas, menerapkan di setiap rancangan bangunannya ber-teori simetris. Jadi semua sisinya bentuknya sama dan setara. Misalnya, jika ada tower di kanan maka sebelah kiri dibuat tower yang sama tingginya atau didepannya mau gak dibangun, belakangnya juga sama dia gak dibangun (terus apa yang dirancang nyet). Dan disetiap bangunan rancangannya, terdapat ukiran-ukiran jawa. Tapi untuk di bangunan ini, si Schoemaker tidak menggunakkan teori simetris. Bosen kali ye, makanya dia buat Gereja Bethel ini berbeda dengan rancangan-rancangan sebelumnya. Untuk ukiran, dia tetap memakainya sebagai ciri khas Akang Schoemaker ini.
Mampir bentar ke Gedung Indonesia Menggugat (Landraad)
(Gak jauh beda sama sebelumnya, gak ada fotonya. Kelupaan)
Arsiteknya masih sama, Akang Schoemaker dengan bantuan Ir. Soekarno. Saat itu Soekarno lagi gawean (kerja magang) sama Akang Schoemaker. Dengan memakai ciri khas-nya berukir dan simetris, bangunan ini berfungsi sebagai kantor pengadilan biasa pada zamannya. Sekarang fungsinya untuk tempat diskusi, pameran, dan pementasan.
Diteruskan ke Jembatan Viaduct.
Jadi nyebrang dulu dari gereja. Sempet foto ini. Di sana terdapat bangunan Museum Kereta Api. Bukan termasuk tempat yang dituju.
Inilah aliran air yang katanya bermuara ke titik-titik kota Bandung.
Kalo gue anyut di sungai ini, mungkin gue udah sampai Samudera Pasifik.
Jembatan ini merupakan jembatan yang menggunakan pondasi "cakar ayam" yang merupakan pondasi yang pertama kalinya di Bandung. Pondasi tersebut ditemukan oleh Prof. Ir. R.M Sedyatmo. Kalo gue misalnya jadi insinyur, gue akan mengagas dan menciptakan pondasi "potongan ayam tanpa tulang, dibalur dengan saus BBQ dengan sentuhan keju mozzarella di atasnya".
Pernah pada waktu itu (gak tau kapan) sungai ini bakal jadi venesia-nya Bandung, namun karena masyarakat di sana yang mungkin masih menerapkan metode "Kalo ada sungai, buang sampahnya di situ aja" maka sungai tersebut menjadi kotor dan wacana tersebut belum direalisasikan. Padahal jalur air ini menghubungkan titik-titik penting di kota Bandung.
Menyusuri sepanjang jalan yang gue gak tau namanya apa.
Glodok-nya Bandung.
Kenapa gue sebut Glodok-nya Bandung? Karena daerah sekitar banyak toko-toko yang kebetulan pemiliknya adalah orang-orang etnis Cina yang tinggal di sana sejak dulu, sama kaya di Jakarta yang biasanya toko-toko macam ini ada di daerah glodok. Kalo gak salah dulu jejeran toko-toko ini adalah rumah-rumah yang sampai akhirnya berubah fungsi menjadi toko-toko.
Berhenti sebentar di Pabrik Kopi Aroma.
Setelah gue liat kertas, ternyata jalan yang gue susurin bersama kelompok dan guide gue adalah Jl. Banceuy. Nama pemiliknya kopi aroma ini Tan Houw Sian dan Widyapratama (generasi ke-2 nya).
Masih di Jalan Banceuy.
Sampai di Penjara dan Menara Pengawas, Banceuy.
Menara Pengawas
Penjara Soekarno setelah beliau divonis oleh pengadilan karena suatu hal.
Dibangun tahun 1877 oleh sejumlah tukang. Sempat Soekarno mendekam di penjara yang hanya berukuran 2,5x1,5 meter tanpa ventilasi dan cahaya (digambar pintunya direnovasi). Jadi cahaya masuk cuma dari lubang kunci pintu penjara. Hiburannya yang disediakan pun cuma satu buku yang gue gak tau buku apaan itu. Untuk melakukan buang air besar maupun kecil saja hanya dilakukan di dalam penjara tempat Soekarno mendekam. Menderita banget.
Bentuk dan genteng tetap dipertahankan, hanya mengalami perubahan di kusen sama pintu.
Menuju Masjid Raya dengan melewati Kantor Pos, Hotel Swarha, Gedung Asuransi Jiwasraya/Bank Mandiri.
Kantor Pos.
Ini gue terbang di atas
Boong deng, gue naik jembatan penyebrangan.
Bank Mandiri
Untuk foto hotelnya gue lupa (lupa mulu lo mas).
Bangunan-bangunan tersebut dibangun tahun 1863 dan mengalami renovasi tahun 1982. Hotel Swarha fungsi awalnya tempat menginap para delegasi KAA pada zamannya. Namun sayang sekarang sudah terbengkalai.
Istrihat di Masjid Raya dan Alun-Alun sekitarnya.
(Asli, gue lupa foto masjidnya *getok kepala pake beton cor* )
Alun-alunnya terbagi menjadi 4 bagian. Fungsi alun-alun utamanya Lapangan sepak bola pada tahun 1900-1905 dan 1914-1921.
Sebelah utara : Penjara Banceuy (yang tadi)
Sebelah timur : Pusat perekonomian/pasar (sekarang palaguna. Gak tau dah apaan tuh palaguna)
Sebelah selatan : Pusat pemerintahan (sekarang pendopo. Sama gue juga gak tau apaan tuh pendopo)
Sebelah barat : Tempat Ibadah (sekarang Masjid Agung)
Di sanalah gue bersama rombongan menunaikan solat Ashar dan Maghrib. Abis itu makan di alun-alun. Gue melihat kondisi alun-alun sama kaya pasar malem, cuma yang jualan gak se-brutal di pasar malem. Paling cuma rokok kretek, abang-abang balon, delman yang ditarik oleh domba. Namun sayang gue gak melihat satu hal yang paling sakral untuk sebuah acara pasar malam. Yak, satu hal yang gak gue lihat itu adalah Odong-Odong.
Kelar istirahat dilanjutkan ke Gedung Merdeka dengan melewati gedung PLN.
(Gedung PLN-nya gue gak foto bukan karena lupa. Gelap banget.)
Dulu namanya GEBEO (Bahasa Belanda yang kalo diterjemahkan ke Indonesia berarti PLN) yang berarsitekkan Akang Schoemaker. Bangunan PLN tersebut mengadaptasikan bentuk kapal pesiar yang seolah-olah sedang mengarungi Sungai Cikapundung. Jadi kalo dilihat dari sisi depan bangunan ini terlihat seperti kapal yang lagi berlabuh, depannya kelihatan gede dan mengecil kalo dilihat dalam garis mata yang sejajar melihat kapal.
Lewatin Gedung Merdeka.
Keren gak gue fotonya, gak ada mobil gitu
*dilempar tomat*
Gedung inilah tempat Konfrensi Asia Afrika (KAA) berlangsung. Kalo ada peringatannya, di pinggir bangunan ini terdapat tiang bendera yang akan mengibarkan bendera-bendera peserta KAA. Sayang sih gue gak bisa masuk karena pintunya ditutup. Tapi gak tau juga sih apa bangunan ini dibuka buat umum apa enggak.
Sambil jalan lihat Hotel Savoy Homan.
Maaf rada gelap, gak ada flash. Biasalah handphone mahal.
Hotel ini diperkirakan dibangun setelah dinosaurus punah, tepatnya tahun 1880. Pemiliknya A.Homman. Gue gak tau kepanjangan "A" di namanya, yang jelas penjelasan dan arti huruf "A" di nama Homman tidaklah terlalu penting. Tapi gue memperkirakan "A" itu kepanjangannya Akang. Akang Homman.
Gedung tersebut juga tempat menginap para delegasi KAA. Fakta yang bikin gue tercengang bahwa Charlie Chaplin pernah menginap disitu. Pas gue ingin merencanakan untuk menginap di sana untuk semalam sewaktu-waktu, gue lihat tarif kamarnya yang tertulis di Baliho Hotel Savoy Homman. Gue mengurungkan niat tersebut.
Kerennya dari hotel ini, kealamian gedung tersebut di jaga. Bentuk dan seisinya dipertahankan seperti model pertamanya. Palingan yang direnovasi kusen-kusen.
Nyebrang Jalan buat ke depan Hotel Grand Preanger.
(Nah yang ini juga gue lupa fotonya.)
Dibuka 1920 dengan rancangan arsitek W.H.C Van Deeterkom dan direnovasi tahun 1928. Yang renovasi pun Akang Schoemaker dengan dibantu Ir. Soekarno. Apa yang dilakukan Akang Schoemaker pada saat merenovasi? Dia menambah ukiran-ukiran di hotel tersebut dan hebatnya ukirannya pun masih terjaga sampai sekarang. Kayu dan Batunya pun masih kokoh berdiri di hotel tersebut. Subhanallah. Terdapat juga sebuah restoran dan bar yang berfungsi sebagai tempat makan sampai sekarang. Sangat disayangkan, menu restoran dan bar-nya MAHAL BANGET buat ukuran gue. Teh manis aja 12 ribu rupiah! Gelasnya aja sekecil asbak ditumpuk jadi dua. Meningan di warteg pinggiran, 3 ribu rupiah gelasnya gede lagi. #mentalanakkost
Sampai di titik Kilometer 0
Alat transportasi untuk pembangunan bangunan-bangunan di Bandung pada zamannya.
Prasasti Bandung KM "0"
Titik 0 Bandung
18 km arah kiri ke Cimahi, 18 km arah kanan Padalarang, 18 km ke depan lo nabrak pager, 18 km ke belakang lo nabrak Hotel Savoy Homman, tapi sebelumnya lo bakal ketabrak mobil yang lalu lalang.
Lewatin kantor Pikiran Rakyat.
Mesin pencetak koran pertama pada zamannya. Jadi ketik langsung cetak.
Terbuat dari besi.
Keyboardnya. Terbuat dari besi juga. Gak kebayang kan lo ngetik koran dengan tuts besi yang bikin jari-jari tangan lo minta diamputasi.
Jalan dan ketemu Bangunan Impor pada zamannya.
Gelap euy jadi tulisannya gak keliatan.
Berhenti bentar di Majestic / Asia Afrika Cultural Center
Nah yang ada merah-merahnya bangunannya.
Yang bangun masih sama. Tebak siapa hayo? Yap bener Akang Schoemaker. Tau kan ciri khasnya yang gue sebutin tadi? Ukiran dan bangunan simetris. Fungsi dulu tempat teater, semacam broadway-nya Bandung. Tapi sekarang berubah fungsi jadi Panggung Budaya (gak jauh beda sih).
Sekilas melihat Sarinah.
Kaya markas The Raid (yakalee)
Sejarahnya, sejak kecil Soekarno diasuh oleh Sarinah. Saat besar, Soekarno ingin membangun suatu tempat perbelanjaan dan jadilah suatu bangunan. Saking cintanya Soekarno dengan pengasuhnya dipilihlah nama "Sarinah" itu sebagai nama bangunan tersebut. Fungsinya dulu tempat belanja orang-orang elit. Baju, celana, kolor, segala macem. Namun sekarang jadi gak terawat dan seperti yang tergambar di atas suasananya, seperti markas The Raid.
Ngeliat Kantor Berita Antara.
yang itu tuh.
Inilah bangunan tempat Kantor Berita Antara yang pertama yang beralih fungsi menjadi rumah makan padang. Keren.
Gue menyusuri Jalan Braga.
Jalan ini merupakan jalan yang merupakan akses utama dan tempat orang-orang elit pada zamannya untuk nongkrong. Sekilas seperti Little India yang ada di Singapura.
Jalan Braga.
Satu jalur yang terdapat diemperannya cafe-cafe, bar-bar, dan restoran-restoran.
Masih di Jalan Braga.
Keren, berasa di luar negeri euy.
Hiruk-pikuk suasana Jalan Braga.
Checkpoint di Landmark.
Landmark Braga.
Dibangun tahun 1922 dengan gaya arsitektur Neo Classic. Beh, namanya aja keren padahal gue gak tau artinya apaan. Menggunakan sentuhan hindu bali dan kaca patri di bagian depan.
Dicatatan gue ada yang namanya Insulinde. Lupa gue Insulinde ini bangunan apa bukan, yang jelas Insulinde ini dirancang oleh kakak beradik Schoemaker.
Saat gue menyusuri jalanan di sepanjang Braga gue terkesan dengan tata bangunan yang begitu rata bagian atasnya. Jadi atasnya gak naik turun naik turun. Rataaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa semua. Jadi walaupun ada bangunan yang bentuknya menjorok kedalam bagian depannya, tapi untuk ukuran tinggi rataaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa semua. Keren.
Ada satu bangunan yang bikin mata gue kelilipan ngeliatnya. Di sana terdapat sebuah apartemen yang menurut gue merusak gaya arsitektur di sepanjang jalan kenangan Braga. Sungguh disayangkan, daerah heritage yang seharusnya tempat yang dijaga gaya arsitekturalnya dirusak oleh sebuah apartemen yang gak sreg aja ngeliatnya. Lebih disayangkan lagi, gue gak foto tuh apartemen karena lagi-lagi alasan yang sama. Lupa. Kampret.
Melewati bangunan Bank Indonesia.
Kaya istana-istana romawi.
Tampak depan. Lampunya keren banget. Ada empat. Kamar kost-an gue aja cuma satu.
Pasti tau dong tempat yang fungsinya untuk menyimpan dan mencetak uang kan? Yap, betul sekali, tempat ini fungsinya untuk menyimpan dan mencetak uang. Sampai sekarang. Disebut juga sebagai Javashe Bank. Dibangun sebelum nyokap gue lahir, tahun 1917.
Arsiteknya E. H.G.H Cuypers. Designnya mengikuti design ciri khasi Romawi dengan tiang pancang yang tingginya kurang dari 100km, dihias dengan ukiran-ukiran di setiap tiang.
Alhamdulillah, setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan (dan lapar), rombongan pun kembali ke Balai Kota Bandung tempat rombongan berkumpul sebelumnya. Jam menunjukkan pukul 21.15. Seluruh angkatan gue dikumpulkan bersama panitia yang tidak lain adalah himpunan arsitektur kampus gue untuk evaluasi.
Saat evaluasi, ketua himpunan meminta dari perwakilan kelompok untuk me-review apa saja yang tadi dilakukan oleh kelompok masing-masing. Tiap kelompok memberikan perwakilannya untuk me-review. Kelompok demi kelompok disebutkan sampai akhirnya disebutlah kelompok gue, kelompok 14.
"Siapa dari kelompok 14?"
*gue berdiri karena biar cepet dan inisiatif gue (cailah)*
"Coba dengan by request saya ya, bangunan apa ya? Umm.."
Mampus gue by request broh.
"Oke coba review Alun-Alun Masjid Raya. Kesana kan?"
"Oke teh. Masjid Raya adalah masjid..." (gue ngomong sama kaya keadaan disekitarnya, ada Hotel Swarha, Bank mandiri, dll)
"Umm, itukan terlalu umum. Coba, ada hal yang menarik gak atau ketertarikan kamu akan hal itu di Masjid tersebut."
*gue mikir keras*
Sebelumnya gue gak dijelasin secara terperinci oleh guide gue. Ada sih ketertarikan di masjid alun-alun itu. Ketertarikan gue adalah dapet makan gratis.
"Ukirannya teh, ada di kubahnya."
"Ada lagi gak? Sesuatu yang sangat menarik dan ketertarikan tersendiri."
*gue masih mikir dan sedikit panik* (padahal paniknya banyak)
"Sebagai mahasiswa arsitektur kita dituntut untuk menjadi kritis. Jadi saat ngeliat suatu bangunan, kita mesti ngerti apa apa maksud bangunan tersebut dan lain-lain."
*gue masih mikir dan pengen pura-pura mati*
"Kamu dari mana?"
"Kelompok 14 teh."
"Bukan maksudnya, asalnya."
"Oh, Jakarta teh."
"Hmm, oke silahkan duduk."
Setelah gue duduk gue tersadar. Memang untuk menjadi mahasiswa arsitektur, mahasiswa tersebut dituntut untuk menjadi kritis karena agar kita tau lebih jauh tau apa arti si bangunan tersebut. Kritis di sini bukan berarti seorang mahasiswa yang harus menyilet-nyilet tangan sehingga masuk ICU kemudian divonis dokter kalo mahasiswa itu sedang fase kritis. Kritis di sini supaya mahasiswa tersebut lebih peka dan mengerti. Gue merasa, memang sudah saatnya untuk belajar kritis. Bukan sebuah paksaan sih. Tapi menurut gue, kalo nanti saat sidang tugas akhir, mahasiswa tersebut menjelaskannya dengan flat, maka dengan opini gue apa yang dia dapat dan pelajari pas kuliah sampai sidang tugas akhir sia-sia dan sewaktu-waktu saat sidang tugas akhir, mereka bakal di bantai oleh dosen pembimbing. Dan lebih buruknya mungkin saat menjalani suatu proyek (kalo udah lulus dan bekerja tenaga arsitektur), kalo mereka tidak bersifat kritis, mereka bakal dibego-begoin sama rekan kerjanya. Kasarnya begitu. Menurut gue ya, gak tau menurut pendapat masing-masing, bisa menerjemahkan sendiri apa itu "kritis" dalam hal ini.
Ucapan terima kasih kepada panitia yang bukan lain adalah himpunan mahasiswa arsitektur kampus gue atas bimbingan dan konsumsinya. Terima kasih juga kepada teman-teman kampus gue, teman-teman angkatan arsitektur 2012 yang sudah meramaikan acara. Bayangkan kalo gak ada kalian semua acara ini gak bakal terlaksana (yaiyalah gak ada pesertanya). Terima kasih juga kepada guide-guide gue, Kang Wildan (eh iya kan namanya Kang Wildan?), terus Teh Sariwangi, dan Kang Kung. Tidak lupa juga terima kasih kepada ketua angkatan himpunan arsitektur kampus gue yang mengajarkan sebagian kecil bagaimana sikap sebagai mahasiswa arsitektur. Sedikit komentar dari gue untuk acara "Jalan Woles" ini, konsumsinya kurang banyak euy.
#taelomas #bayarcuma20ribubanyakmaunya
#mentalanakkost
#turunkanhargaPS3
#dukungdamasmasukFKGptntahundepan
Ucapan terima kasih kepada panitia yang bukan lain adalah himpunan mahasiswa arsitektur kampus gue atas bimbingan dan konsumsinya. Terima kasih juga kepada teman-teman kampus gue, teman-teman angkatan arsitektur 2012 yang sudah meramaikan acara. Bayangkan kalo gak ada kalian semua acara ini gak bakal terlaksana (yaiyalah gak ada pesertanya). Terima kasih juga kepada guide-guide gue, Kang Wildan (eh iya kan namanya Kang Wildan?), terus Teh Sariwangi, dan Kang Kung. Tidak lupa juga terima kasih kepada ketua angkatan himpunan arsitektur kampus gue yang mengajarkan sebagian kecil bagaimana sikap sebagai mahasiswa arsitektur. Sedikit komentar dari gue untuk acara "Jalan Woles" ini, konsumsinya kurang banyak euy.
#taelomas #bayarcuma20ribubanyakmaunya
#mentalanakkost
#turunkanhargaPS3
#dukungdamasmasukFKGptntahundepan
Fiuh kelar juga gue cerita tentang bangunan-bangunan heritage di Bandung. Kesimpulannya, bahwa oh ternyata banyak bangunan-bangunan heritage Bandung yang biasa gue lewatin ternyata mengandung banyak arti dan keren. Mungkin masih banyak, tapi karena waktu belum mengizinkan, maka gue cuma melihat bangunan-bangunan heritage di sekitar jalan Braga. Namun banyak yang tidak terurus oleh pemerintah yang seharusnya dijaga. Pergantian pemerintah membuat hal itu terjadi. Belum lagi infrastruktur tata ruang yang sudah dirusak oleh masyarakat itu sendiri. Pembangunan yang tidak teratur dan sesuai dengan infrastruktur, kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya rendah, dan problem-problem lain yang gue gak bisa sebutkan satu-satu karena kalo gue sebutin satu-satu tulisan gue ini bakal jadi tulisan yang mampu menandingin jarak antara Jakarta dan Bandung. Sebagai contoh peninggian jalan yang "katanya" untuk mengatasi banjir. Namun apa yang terjadi? Banjir lagi, banjir lagi. Saat gue liat peninggiannya pun sudah lapis ke-tiga. Udah kaya lapis surabaya aja ada tiga lapis. Gue berharap, jika ada pergantian pemerintah di kota Bandung, semoga saja pemerintahnya lebih peduli terhadap lingkungan dan melestarikan bangunan-bangunan heritagae di Bandung.
Buat kota Bandung, satu kata dari orang gue sebagai penduduk Jakarta.
Keren.
Comments
Post a Comment