Day 2: Fungsi (Lain) Persimpangan yang Luput Dari Perhatian (Kek Penulisnya)
Day 2
Fungsi (Lain) Persimpangan yang Luput Dari Perhatian (Kek Penulisnya)
Beberapa bulan yang lalu teman gue harus merevisi gambar rancangan dia gara-gara satu hal yang menurut dia cukup sepele dan kemudian menanyakan hal tersebut kepada gue:
"Kenapa sih mas setiap persimpangan bentuknya harus bundaran? Kan bisa bentuknya plus (+) atau T?
Spontan pertanyaan tersebut menarik gue jauh tiga tahun kebelakang ketika gue mengikuti lomba esai yang membahas tentang persimpangan. Di dalam riset gue mengenai persimpangan jalan, gue sadar persimpangan yang berbentuk bundaran itu lebih efektif untuk menghindari atau bisa dikatakan meminalisir kecelakaan.
Kenapa bisa mas? Bukannya kecelakaan lalu lintas itu faktor utamanya dari human error?
Karena jumlah titik konflik yang dibentuk oleh bundaran adalah 0 alias tidak ada sudut-sudut pertemuan dalam bentuk sebuah lingkaran. Dari sana angka pertemuan setiap kendaraan yang melintas dipersimpangan dalam waktu yang bersamaan dapat dihindari. Kecepatan kendaraan yang melintas dipersimpangan melambat namun tetap konstan pada percepatan kelajuannya. Makanya gak heran kalo lo cari tentang angka kematian akibat persimpangan yang berbentuk tanda plus ( + ) lebih tinggi dibanding persimpangan yang berbentuk lingkaran ( O ). Memang kecelakaan lalu lintas faktor utamanya ada di human error tetapi faktor desain jalan juga berpengaruh untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh manusia dalam berkendara. Memang manusia itu tempatnya bersalah.
*benerin peci*
Di sini gue akan membahas tentang persimpangan di daerah dekat kosan gue, tepatnya di persimpangan antara Jalan Diponegoro, Jalan WR Supratman, dan Jalan Citarum, Kota Bandung. Koordinatnya kalo dicari di google maps itu -6.901252, 107.625088
Yang menarik perhatian gue di persimpangan ini adalah kalo menjelang subuh sampai subuh berkumandang biasanya dipake buat area drifting mobil. Lucu sih waktu pertama kali gue ke Bandung gue bingung sama suara balapan dekat kosan gue, padahal gue gak nge-kos di Sirkuit Sentul atau Sirkuit Sepang (menurut lo?!). Pas gue selidikin setelah solat subuh di Masjid Pusdai ternyata persimpangan ini kadang suka dipakai buat area drifting. Sungguh sebuah terobosan yang gak kepikiran sama gue pada saat itu. Akhirnya gue coba meneliti kenapa persimpangan tersebut dipakai untuk area drifting sampai akhirnya gue merangkumnya dalam sebuah esai untuk ajang kompetisi tentang sebuah persimpangan. Saat itu gue belum berani nanya langsung sama yang suka drifting di sana karena gue gak mau diri gue berakhir menjadi traffic cone/kerucut lalu lintas. Setelah gue teliti akhirnya gue menemukan beberapa kesimpulan tentang persimpangan ini suka dipakai untuk area drifting. Radius yang dimiliki oleh 3 jalan persimpangan ini cukup besar (sekitar 15-18 meter) dan itu cukup untuk menantang para drifter buat melakukan drifting. Selain itu juga lebar jalan yang cukup besar (mengingat di persimpangan ini ada Jalan Diponegoro dan Jalan Supratman yang merupakan jalan provinsi) sehingga jalan tersebut cukup lebar dan dapat memarkirkan 8 mobil sekaligus secara rapi ala-ala anak mobil, yang berjejer kek diparkiran alfa*mart atau indo*maret (asumsi 1 mobil memerlukan lahan 12,5-14 meter persegi) dan juga dapat menampung 4 tukang bajigur (dengan asumsi 1 tukang bajigur memerlukan lahan 6-8 meter persegi) dan 3 gerobak nasi goreng (dengan asumsi 1 gerobak nasi goreng memerlukan lahan 9-12 meter persegi) untuk memfasilitasi drifter ataupun teman-temannya merasa kelaparan atau haus.
Sungguh luput dari perhatian bukan betapa luasnya fungsi persimpangan yang gue kira cuman buat menghindari titik konflik kendaraan? Sampai sekarang gue masih belum menemukan lagi sebenernya guna persimpangan di luar sana selain buat area drifting. Sebuah pemahaman baru gue tentang sebuah persimpangan dan gue menjadi paham kenapa esai gue gak lolos. Mungkin sekarang proposal print-an gue udah jadi bungkus kacang abang-abang bajigur atau tukang nasi goreng di sana.
*seruput bajigur*
Fungsi (Lain) Persimpangan yang Luput Dari Perhatian (Kek Penulisnya)
Sumber: gue sendiri Bundaran Apa Puteran Nyebutnya? |
"Kenapa sih mas setiap persimpangan bentuknya harus bundaran? Kan bisa bentuknya plus (+) atau T?
Spontan pertanyaan tersebut menarik gue jauh tiga tahun kebelakang ketika gue mengikuti lomba esai yang membahas tentang persimpangan. Di dalam riset gue mengenai persimpangan jalan, gue sadar persimpangan yang berbentuk bundaran itu lebih efektif untuk menghindari atau bisa dikatakan meminalisir kecelakaan.
Kenapa bisa mas? Bukannya kecelakaan lalu lintas itu faktor utamanya dari human error?
Karena jumlah titik konflik yang dibentuk oleh bundaran adalah 0 alias tidak ada sudut-sudut pertemuan dalam bentuk sebuah lingkaran. Dari sana angka pertemuan setiap kendaraan yang melintas dipersimpangan dalam waktu yang bersamaan dapat dihindari. Kecepatan kendaraan yang melintas dipersimpangan melambat namun tetap konstan pada percepatan kelajuannya. Makanya gak heran kalo lo cari tentang angka kematian akibat persimpangan yang berbentuk tanda plus ( + ) lebih tinggi dibanding persimpangan yang berbentuk lingkaran ( O ). Memang kecelakaan lalu lintas faktor utamanya ada di human error tetapi faktor desain jalan juga berpengaruh untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh manusia dalam berkendara. Memang manusia itu tempatnya bersalah.
*benerin peci*
Di sini gue akan membahas tentang persimpangan di daerah dekat kosan gue, tepatnya di persimpangan antara Jalan Diponegoro, Jalan WR Supratman, dan Jalan Citarum, Kota Bandung. Koordinatnya kalo dicari di google maps itu -6.901252, 107.625088
Sumber: google maps Point merah yang Menjadi Perhatian Gue |
Sumber: dari sini Suasananya Kalo Dilihat Dari Jalan WR Supratman |
Sumber: dari sini Another View |
Sungguh luput dari perhatian bukan betapa luasnya fungsi persimpangan yang gue kira cuman buat menghindari titik konflik kendaraan? Sampai sekarang gue masih belum menemukan lagi sebenernya guna persimpangan di luar sana selain buat area drifting. Sebuah pemahaman baru gue tentang sebuah persimpangan dan gue menjadi paham kenapa esai gue gak lolos. Mungkin sekarang proposal print-an gue udah jadi bungkus kacang abang-abang bajigur atau tukang nasi goreng di sana.
*seruput bajigur*
Comments
Post a Comment