Day 4: Modernisasi Pedagang Kaki Lima
Day 4
Modernisasi Pedagang Kaki Lima (still underconstruction sorry -_-)
Seberapa banyak PKL yang lo temuin setiap hari? Apa saja jenis barang dagangan mereka? Bagaimana cara marketing yang mereka lakukan? Kalo buat orang kurang kerjaan kek gue, setiap hari gue menemukan sepanjang jalan yang gue lewatin ada 79 Pedagang Kaki Lima dengan berbagai rupa dagangan yang mereka jual. Mulai dari makanan, souvenir, barang fashion hingga dagangan yang menurut gue cukup aneh seperti alat sulap, madu yang langsung dari lebahnya (iya dia manen madunya di ember yang ada lebahnya), sampai temulawak yang konon katanya bisa meredakan penyakit lanjut usia. Pokoknya banyak dagangan mereka yang cukup membuat gue terkesan karena selain harus mendapatkan seorang pembeli, mereka harus berjibaku dengan teriknya panas matahari (kalo jualannya siang), derasnya hujan (kalo lagi hujan), dan gelapnya malam (kalo jualannya malam). Belum lagi kucing-kucingan dengan petugas Satpol PP yang siap menjaring mereka seperti layaknya nelayan menangkap ikan dengan pukat harimau. Lebih betenya kalo ketemu pembeli yang nawar barang dagangannya udah kek gak ada hari esok.
Sebelum masuk ke pembahasan, gue yakin 7 dari 10 orang menjawab kenapa disebut PKL (Pedagang Kaki Lima) karena 2 roda dari gerobak, 2 kaki dari pedagangnya, dan 1 penumpu gerobak. Nyatanya bukan itu jawaban sebenarnya. Waktu pemerintahan kolonial Belanda Gubernur Thomas Stamford Raffles menerapkan setiap ruas jalan harus menyediakan sarana pejalan kaki/trotoar dengan jarak 5 kaki (1,5 meter). Di saat itu dengan jarak yg cukup besar, banyak pedagang memanfaatkan trotoar tersebut sebagai tempat istirahat mereka. Ngopi-ngopi lucu, liat noni-noni atau londo-londo cantik, ghibah, ngitungin mas-mas yang lagi nguap, dll. Dan pada akhirnya sediamnya mereka di trotoar ternyata dagangan mereka lebih laku. Jadilah budaya tersebut menerus hingga sekarang. Malahan menurut gue PKL sekarang telah termodernisasi dengan menggunakan kendaraan sebagai sarana pedagang untuk berjualan. Kalo gue jadi polisi patroli gue tangkepin tuh satu-satu. Soalnya mereka berjualan tidak pada tempatnya. Dengan keaktifan gue sebagai polisi, gue yakin popularitas gue meningkat di kepolisian, dapet promosi jabatan, dan masuk acara 86 Net TV. Sekarang gue akan memperkecil lingkup bahasan gue tentang maraknya PKL "modern". PKL "modern" maksud gue adalah pedagang yang jualan memakai mobil. Buat gue sebenarnya jualan itu gak apa -apa asal tau tempat. Buat PKL"modern" ini yang gue paling gak suka adalah bukan jual di trotoar, tapi jualan di pinggir jalan sehingga mengurangi lebar dari kapasitas jalan itu sendiri.
Studi kasus: Jalan Diponegoro, Bandung
Di Peraturan Daerah Kota Bandung No. 04 Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pembinaan PKL & Peraturan Walikota No 888 Tahun 2012 Tentang Petunjuk Pelaksanaan serta Peraturan Daerah Kota Bandung No. 04 Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pembinaan PKL, Jalan Diponegoro merupakan jalan provinsi, dengan kata lain jalan provinsi adalah zona merah. Artinya PKL jenis apapun mau dia pake gerobak, mobil, gajah, atau dinosaurus tidak boleh berjualan di sana. Jika nekat berjualan, pedagang maupun pembeli dikenakan denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sepanjang 620 meter Jalan Diponegoro dipake berdagang oleh oknum-oknum yang kurang bertanggungjawab ini. Entah mereka belum paham dengan peraturan tentang zona merah ataupun ada mengeluhkan sepi pembeli jika mereka direlokasikan. Pernah gue melakukan sesi wawancara kepada 3 orang PKL "modern" ini ketika mereka direlokasi di daerah Monumen Perjuangan (500 meter dari Jalan Diponegoro) selain jarak yang jauh, posisi mereka berjualan itu kurang strategis layaknya seorang Ibrahimovic dipasang sebagai bek ataupun sebagai kiper. Serba salah memang kek lagu Raisa, tapi begitulah kebijakan dari Walikota Bandung Kang Emil dengan merelokasi semua PKL ke daerah Monumen Perjuangan dengan area-area yang tersedia.
Menurut gue pribadi sebenarnya tumbuhnya PKL ini selalu organik. Di mana ada pasar untuk target pembeli di sanalah mereka muncul. Solusi simpelnya dari gue adalah kontrol pemerintah dengan menggunakan elemen satpol PP secara rutin, keliling setiap satu jam sekali. Seperti yang gue lihat di Surabaya. Kota tersebut gue lihat jarang banget ada PKL bahkan cenderung bersih di jalan utama. Setelah gue selidiki ternyata petugas satpol PP mereka rajin berpatroli setiap setengah jam sekali (kalo gak salah waktu itu gue nanya). Sangat ketat untuk menjaga kota dari kekumuhan. Gue berharap dari pemerintah kota Bandung bisa menerapkan sistem yang kurang lebih sama dengan Surabaya. Mungkin dengan menyesuaikan budaya sunda yaitu keramah-tamahan. Misalnya beli semua barang dagangan PKL "modern" tersebut pake gaji dari petugas satpol PP itu sendiri.
*digebukin satpol PP*
Modernisasi Pedagang Kaki Lima (still underconstruction sorry -_-)
Sumber: gue sendiri Modernisasi PKL Berupa Sarana Jualan Mereka Dengan Memakai Kendaraan Bermotor |
Sebelum masuk ke pembahasan, gue yakin 7 dari 10 orang menjawab kenapa disebut PKL (Pedagang Kaki Lima) karena 2 roda dari gerobak, 2 kaki dari pedagangnya, dan 1 penumpu gerobak. Nyatanya bukan itu jawaban sebenarnya. Waktu pemerintahan kolonial Belanda Gubernur Thomas Stamford Raffles menerapkan setiap ruas jalan harus menyediakan sarana pejalan kaki/trotoar dengan jarak 5 kaki (1,5 meter). Di saat itu dengan jarak yg cukup besar, banyak pedagang memanfaatkan trotoar tersebut sebagai tempat istirahat mereka. Ngopi-ngopi lucu, liat noni-noni atau londo-londo cantik, ghibah, ngitungin mas-mas yang lagi nguap, dll. Dan pada akhirnya sediamnya mereka di trotoar ternyata dagangan mereka lebih laku. Jadilah budaya tersebut menerus hingga sekarang. Malahan menurut gue PKL sekarang telah termodernisasi dengan menggunakan kendaraan sebagai sarana pedagang untuk berjualan. Kalo gue jadi polisi patroli gue tangkepin tuh satu-satu. Soalnya mereka berjualan tidak pada tempatnya. Dengan keaktifan gue sebagai polisi, gue yakin popularitas gue meningkat di kepolisian, dapet promosi jabatan, dan masuk acara 86 Net TV. Sekarang gue akan memperkecil lingkup bahasan gue tentang maraknya PKL "modern". PKL "modern" maksud gue adalah pedagang yang jualan memakai mobil. Buat gue sebenarnya jualan itu gak apa -apa asal tau tempat. Buat PKL"modern" ini yang gue paling gak suka adalah bukan jual di trotoar, tapi jualan di pinggir jalan sehingga mengurangi lebar dari kapasitas jalan itu sendiri.
Sumber: Google Street Dengan Editan Pribadi Ini salah satu sumber kemacetan #HuFtB4n6eD |
Studi kasus: Jalan Diponegoro, Bandung
Di Peraturan Daerah Kota Bandung No. 04 Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pembinaan PKL & Peraturan Walikota No 888 Tahun 2012 Tentang Petunjuk Pelaksanaan serta Peraturan Daerah Kota Bandung No. 04 Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pembinaan PKL, Jalan Diponegoro merupakan jalan provinsi, dengan kata lain jalan provinsi adalah zona merah. Artinya PKL jenis apapun mau dia pake gerobak, mobil, gajah, atau dinosaurus tidak boleh berjualan di sana. Jika nekat berjualan, pedagang maupun pembeli dikenakan denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sumber: gue sendiri Kalo Dari Peraturan Walikota Begitu. Lucunya Edaran Spanduk Ini Hilang Begitu Saja Di Keesokan Harinya. Entah Dipake Buat Tenda Terpal Jualan Apa Buat Alas Jualan. |
Sumber: dari sini Potret Salah Dua PKL yang Seenaknya Mengambil Bahu Jalan Buat Jualan |
Sumber: dari sini Saat Pembeli Melakukan Transaksi Dengan Pedagang "Modern" Ini. Makin-Makin Macetnya |
*digebukin satpol PP*
Comments
Post a Comment