30 Days of Productivity: Puasa di Luar Angkasa
Day 7
Puasa di Luar Angkasa
Hari ke-10 di bulan Juni dangue masih jomblo postingan gue baru sampai hari ke-7. Artinya gue telah melewatkan tiga postingan yang seharusnya diposting untuk #30DaysOfProductivity di bulan ini. Sejujurnya gue baru sadar ternyata sudah 10 hari gue lewati di bulan Juni. Cepatnya waktu berlalu sampai gue gak sempet buat ngedipin mbak-mbak warteg deket kosan gue buat minta jatah nasi gratis santapan berbuka.
*digampar pacar* *untung gak punya pacar* *jadi gak digampar*
Biasanya gue buat grafis dan tulisan untuk bulan produktivitas ini di setiap harinya. Tapi entah kenapa apa karena nikmatnya bulan puasa yang gue jalani atau padatnya deadline pekerjaan membuat gue seakan-akan melupakan dimensi tempat gue tinggal. Dimensi di sini yang gue maksud adalah waktu di mana gue berdiam diri. Di sana gue jadi lupa hari, tanggal, bahkan waktu. Saking lupanya sama waktu, 2 hari yang lalu gue nyetel alarm buat sahur. Waktu itu gue setel jam 03.00. Entah kenapa pada jam 3 pagi alarm di hp gue gak bunyi (yang pada akhirnya gue gak sahur waktu itu). Setelah gue cek, ternyata settingannya adalah jam 3 sore (tertulis 03.00pm). Kembali ke produktivitas yang gue tetapkan di awal bulan, gue coba tetap komitmen untuk membuat sebuah karya tulis maupun grafis di bulan Juni ini. 30 hari, 30 tulisan, dan 30 grafis.
#np Senyum Semangat - SM*SH
Dari kasus ini, menurut gue ada beberapa kesamaan yang gue rasakan layaknya kehidupan luar angkasa dan di bumi, misalnya wajah rupawan dan kecerdasan yang dimiliki dari para astronot gue juga miliki dengan utuh (pret). Selain itu, gue di sini mengalami apa yang sering disebut sebagai relativitas. Apa itu relativitas? Ketika waktu pada putaran jam kita pada benda bergerak cepat bahkan mendekati kecepatan cahaya akan bergerak lebih lambat pada benda tidak bergerak (dalam hal ini di jam bumi).
Bingung mas.
Oke gue kasih contohnya. Misalnya gue sebagai astronot Indonesia yang ditugaskan untuk misi ke luar angkasa membantu Hachi mencari ibunya (bagi yang gak tau Hachi bisa liat cerita singkatnya di sini). Gue cabut nih dari bumi tanggal 10 Juni 2016. Menurut waktu-waktu yang telah berlalu, gue baru cabut 10 menit dari bumi. Padahal hitungan di buminya, gue cabut selama 10 tahun. Bahasa kerennya paradoks kembar. Sebenarnya gue belum terlalu jauh mempelajari tentang konsep relativitas. Yang jelas, gue berpikir jika benar saja Indonesia mengirimkan gue sebagai astronot asal Indonesia niscaya penduduk bumi akan berpesta. Dikirimkannya gue ke luar angkasa berarti menyelamatkan bumi dari ancaman kepunahan (soalnya gue ngerepotin, ngabisin stok oksigen di bumi).
Berbicara mengenai puasa dan kaitannya dengan luar angkasa. Gue teringat waktu SMP gue membaca berita tentang astronot asal Malaysia bernama Sheikh Muszaphar Shukor diberangkatkan ke luar angkasa tahun 2007. Dia menyaksikan sendiri betapa besarnya ciptaan Tuhan. Sedikit fakta tentang keberangkatan Muszaohar Shukor bahwa waktu dia dikirimkan ke luar angkasa bertepatan dengan bulan Ramadhan. Sebuah pertanyaan dibenak kita, gimana caranya puasa di luar angkasa? Kan gak ada patokan dan tempat mereka tinggal selalu berpindah mengitari bumi. Gue yakin, selama itu niat puasa, insyaAllah akan dihitung oleh Allah.
Bicara soal astronot, pekerjaan astronot itu gue bilang cukup unik. Untuk menjadi astronot dibutuhkan seseorang yang qualified di bidang apapun. Tes fisik, tes mental, tes urine dan juga tes-tes lainnya yang dilakukan guna mempersiapkan calon astronot agar siap untuk survive di luar angkasa. Sempet gue berharap untuk mengikuti tes untuk menjadi astronot. Namun, mengingat kegagalan gue akan tes kedokteran selama 13 kali, gue urungkan niat tersebut. Lagipun andaikata gue lolos untuk menjadi astronot paling gue ditempatkan di bagian maintenance and management space vehicles. Lebih tepatnya bagian tukang parkir.
Puasa di Luar Angkasa
Hari ke-10 di bulan Juni dan
*digampar pacar* *untung gak punya pacar* *jadi gak digampar*
Biasanya gue buat grafis dan tulisan untuk bulan produktivitas ini di setiap harinya. Tapi entah kenapa apa karena nikmatnya bulan puasa yang gue jalani atau padatnya deadline pekerjaan membuat gue seakan-akan melupakan dimensi tempat gue tinggal. Dimensi di sini yang gue maksud adalah waktu di mana gue berdiam diri. Di sana gue jadi lupa hari, tanggal, bahkan waktu. Saking lupanya sama waktu, 2 hari yang lalu gue nyetel alarm buat sahur. Waktu itu gue setel jam 03.00. Entah kenapa pada jam 3 pagi alarm di hp gue gak bunyi (yang pada akhirnya gue gak sahur waktu itu). Setelah gue cek, ternyata settingannya adalah jam 3 sore (tertulis 03.00pm). Kembali ke produktivitas yang gue tetapkan di awal bulan, gue coba tetap komitmen untuk membuat sebuah karya tulis maupun grafis di bulan Juni ini. 30 hari, 30 tulisan, dan 30 grafis.
#np Senyum Semangat - SM*SH
Dari kasus ini, menurut gue ada beberapa kesamaan yang gue rasakan layaknya kehidupan luar angkasa dan di bumi, misalnya wajah rupawan dan kecerdasan yang dimiliki dari para astronot gue juga miliki dengan utuh (pret). Selain itu, gue di sini mengalami apa yang sering disebut sebagai relativitas. Apa itu relativitas? Ketika waktu pada putaran jam kita pada benda bergerak cepat bahkan mendekati kecepatan cahaya akan bergerak lebih lambat pada benda tidak bergerak (dalam hal ini di jam bumi).
Bingung mas.
Oke gue kasih contohnya. Misalnya gue sebagai astronot Indonesia yang ditugaskan untuk misi ke luar angkasa membantu Hachi mencari ibunya (bagi yang gak tau Hachi bisa liat cerita singkatnya di sini). Gue cabut nih dari bumi tanggal 10 Juni 2016. Menurut waktu-waktu yang telah berlalu, gue baru cabut 10 menit dari bumi. Padahal hitungan di buminya, gue cabut selama 10 tahun. Bahasa kerennya paradoks kembar. Sebenarnya gue belum terlalu jauh mempelajari tentang konsep relativitas. Yang jelas, gue berpikir jika benar saja Indonesia mengirimkan gue sebagai astronot asal Indonesia niscaya penduduk bumi akan berpesta. Dikirimkannya gue ke luar angkasa berarti menyelamatkan bumi dari ancaman kepunahan (soalnya gue ngerepotin, ngabisin stok oksigen di bumi).
Berbicara mengenai puasa dan kaitannya dengan luar angkasa. Gue teringat waktu SMP gue membaca berita tentang astronot asal Malaysia bernama Sheikh Muszaphar Shukor diberangkatkan ke luar angkasa tahun 2007. Dia menyaksikan sendiri betapa besarnya ciptaan Tuhan. Sedikit fakta tentang keberangkatan Muszaohar Shukor bahwa waktu dia dikirimkan ke luar angkasa bertepatan dengan bulan Ramadhan. Sebuah pertanyaan dibenak kita, gimana caranya puasa di luar angkasa? Kan gak ada patokan dan tempat mereka tinggal selalu berpindah mengitari bumi. Gue yakin, selama itu niat puasa, insyaAllah akan dihitung oleh Allah.
Bicara soal astronot, pekerjaan astronot itu gue bilang cukup unik. Untuk menjadi astronot dibutuhkan seseorang yang qualified di bidang apapun. Tes fisik, tes mental, tes urine dan juga tes-tes lainnya yang dilakukan guna mempersiapkan calon astronot agar siap untuk survive di luar angkasa. Sempet gue berharap untuk mengikuti tes untuk menjadi astronot. Namun, mengingat kegagalan gue akan tes kedokteran selama 13 kali, gue urungkan niat tersebut. Lagipun andaikata gue lolos untuk menjadi astronot paling gue ditempatkan di bagian maintenance and management space vehicles. Lebih tepatnya bagian tukang parkir.
Sumber Gue Sendiri Siapa Yang Cita-Cita Kecilnya Pengen Jadi Astronot? |
Comments
Post a Comment