30 Days of Productivity: Solusi Macet Paling Mutakhir

Day 10
Solusi Macet Paling Mutakhir

Sumber di Timeline Twitter Gue
You Are Traffic!
Gue dapet gambar ini tahun 2012 di timeline twitter gue. Gue suka dengan statement billboard tersebut bahwa penyebab kemacetan itu sendiri adalah mereka pengguna jalan yang memakai kendaraan bermotor. Kembali ke zaman tersebut di mana gue punya pacar makin muak dengan kemacetan kota Jakarta. Ditambah lagi, sebagai pengendara sepeda gue merasa tertindas dan jarang banget diberikan hak di jalan raya oleh pengguna kendaraan bermotor. Berjibaku hingga sampai ditabrak, diomelin, dan hal-hal lain menjadi makanan sehari-hari gue dan pengendara sepeda lainnya. Tak jarang cekcok di antara gue dan pengendara kendaraan bermotor seperti:

"CEPETAN DONG NAIK SEPEDANYA?!"
Kalo mau cepet pake Tiki aja pak.

"LO TAU GAK JALAN RAYA BUAT MOBIL?!"
Emang situ aja yang pake jalan? Abang odong-odong juga nyari rejeki di sini.

"YAELAH BIKIN MACET AJA LO!"
Kalo gak mau macet lewat jalan tol aja pak.

"YANG GANTENG DONG NAIK SEPEDANYA!"
(Serius ini pernah ada yang teriak ke gue kaya gini pas gue naik sepeda, gue gak tau maksud makian ini, entah dianya yang kalah tampan dari gue apa gimana)

Andai saja gue ada duit jajan lebih, gue pengen pasang statement di atas dengan baliho, spanduk, ataupun kalo perlu gue pasang di kaca mobil bagian depan kek kaca film di mobil. Biar mereka sadar atas kemacetan yang sering dialami di sebabkan oleh mereka sendiri.

Cerita gue dan sepeda dimulai ketika gue kelas 2 SD. Setiap pulang sekolah, gue gemar naik sepeda di teras rumah bersama adek gue. Dulu kita cuman punya satu sepeda buat berdua. Sepeda roda tiga merk wimcycle dengan handle grip dan jok satu seat berwarna hijau. Sebenarnya di rumah gue dulu punya banyak sepeda, namun sepeda-sepeda tersebut digunakan untuk berjualan roti keliling oleh karyawan nyokap gue semasa nyokap gue punya pabrik roti. Kalo gue pake sepeda itu buat main, bisa-bisa gue udah dipancung sama nyokap gue karena menghambat usaha beliau. Lanjut ke cerita gue, adek gue, dan sepeda milik kita berdua. Dulu gue mainnya ganti-gantian. Setiap 10 lap kita gantian. Kalo gue naik sepeda tersebut, gue merasa seperti pembalap Moto GP pada masa 2000an. Ketika pembalap idola gue Sete Gibernau dengan kelihaiannya bergerak melintasi tikungan-tikungan tajam. Terlihat saat gue melakukan gerakan menikuk tajam kek pembalap Moto GP, potensi gue untuk menjadi pembalap dan juga cowo playboy (karena suka nikung) muncul. Suasana gembira yang dialami kita berdua ketika bermain sepeda. Tiba giliran gue untuk naik sepeda, kebetulan teman SD gue melintas di depan rumah gue dan kaget melihat gue telanjang naik sepeda roda tiga. Awalnya sih gue biasa aja karena tidak ada keanehan yang berarti. Asumsi gue, dia kaget karena terpukau karena kelihaian gue naik sepeda atau ketampanan gue. Karena yang ngeliat gue waktu itu adalah cowo jadi asumsi dua akan gue hapuskan.

Besoknya kejadian gue naik sepeda roda tiga menjadi gosip terheboh di sekolah, keknya berita seksinya Nafa Urbach pada saat itu kalah pamor deh.

"Eh tau ga? Damas udah kelas 2 SD tapi masih naik sepeda roda tiga! Cupu abis."

"Ah gue aja udah bisa naik sepeda roda dua yang tinggi!"

"Damas ganteng lho! Tapi boong."

Sekelas ngetawain gue karena gak bisa naik sepeda roda dua. Padahal gue yakin dengan kemampuan gue naik sepeda roda tiga, peluang gue untuk berprofesi menjadi tukang becak terbuka lebar.

*ngelamar jadi tukang becak*

Pulang dari sekolah gue mikir (emang dari kecil hobinya mikir) dan bertekad untuk bisa naik sepeda roda dua karena gak mau diejek oleh teman sekolah. Tapi apa daya, waktu itu gue belum punya keberanian penuh untuk naik sepeda roda dua. Ngeliat ulet lagi uget-uget aja gue jerit-jerit kek korban pemerkosaan. Di sanalah gue curhat sama almarhum oma gue yang pada akhirnya beliau membelikan gue sepeda roda dua BMX Wimcycle warna biru sebagai hadiah kenaikan kelas pada tahun berikutnya. Biar mau belajar naik sepeda kata beliau. Sampai sekarang sepeda itu masih ada, soalnya gue janji sama oma gue buat ngejaga sepeda itu sampai gue nanti punya anak. Cucu yang baik.

*benerin kerah*

Entah emang bakat atau apa, setiap gue belajar hal-hal mengenai olahraga, gue belajar dengan cepat. Kek waktu smp gue cuman belajar dua minggu, gue bisa berenang dengan lancar (soalnya sebelum kelas 3 smp gue gak bisa berenang). Buat sepedaan, gue cuman butuh dua kali jatuh agar bisa lancar naik sepeda. Kecelakaan pertama hingga membuat gue jatuh adalah saat turunan gue lupa ada fungsi rem di sepeda sampai akhirnya nabrak pagar rumah orang. Kecelakaan kedua saat kesombongan gue muncul. Baru bisa sepeda gue udah sok-sokan mau nge-drift sampai akhirnya nyebur got. Dari pengalaman tersebut gue belajar banyak tentang mengendarai sepeda, hingga gue terpikir untuk membuat buku tentang "How To Ride A Bike For Dumb People". Sebulan kemudian, gue udah bisa sepedaan dengan berbagai macam gaya seperti lepas tangan, naik dan berdiri di jok sepeda, 69 (lho?), dan hal-hal yang tidak lazim lainnya.

Sepeda legend itu menjadi cerita bersejarah gue tentang bagaimana dari sebuah ejekan bisa berubah menjadi motivasi buat gue. Kalo dihitung-hitung jarak tempuh sepeda gue udah beratus-ratus kilometer kalo misalnya ada pengukur jarak tempuh di sepeda. Jarak tempuh paling jauh dengan sepeda ini adalah saat gue pergi ke rumah saudara gue. Rumah gue di Kebayoran Baru dan rumah saudara gue di Bintaro. Jika dihitung jaraknya 14.2 kilometer untuk sekali jalan. Dipikir-pikir perjalanan dengan sepeda gue ini sudah tahap lintas provinsi sehingga ketika gue pulang, kaki gue terancam diamputasi.

Berlanjut ke SMA ketika gue mulai kebiasaan bersepeda di kelas 2 SMA. Gue merasa terlalu banyak menghabiskan waktu di jalan saat perjalanan pergi dan pulang. Padahal dengan waktu yang gue habiskan di jalan, gue bisa mencari pacar (pret). Akhirnya semenjak gue naik sepeda, jawaban dari permasalahan gue terjawab yaitu kemacetan dan kejenuhan di jalan raya. Jika dihitung, waktu tempuh saat gue menggunakan kendaraan umum sama lamanya dengan gue menggunakan sepeda, malah lebih hemat uang jajan. Jaraknya sih lumayan dekat, hanya 7.2 km dari rumah gue (Deket darimana nyet!). Awalnya berat karena gue harus beradaptasi, berjibaku dengan banyak kendaraan bermotor yang seenaknya menindas kaum sepeda seperti gue, lama kelamaan gue biasa dengan kehidupan gue bersepeda di kota Jakarta.

Di saat kuliah, postingan ini telah menceritakan tentang kehidupan kuliah gue dengan sepeda. Akhir tulisan ini gue pengen mengajak kepada pembaca bahwa sebenarnya bersepeda itu asik. Persis apa yang digambarkan dalam film Premium Rush, lo akan mengenal setiap sudut kota dengan bersepeda. Pada akhirnya cerminan kota akan tercermin dari kepribadian lo bersepeda. Let's grab your bike and bike free!


Sumber Gue Sendiri
Bike Free Guys!

Comments

Popular posts from this blog

Day 23: Kesehatan Kaki di Waktu Weekend

Day 21: Modernitas Area Bermain Anak

Perjalanan 3 tahun