Day 6
PKL Musiman Bulan Puasa
Gak kerasa lebaran tinggal 28 hari lagi. Itu artinya tinggal beberapa hari lagi menuju Damas yang kembali sengsara sebagai anak kos (karena santapan sebelum berbuka hanya tersedia ketika bulan puasa).
*siapin tali gantung diri*
Tradisi bulan Ramadhan di Indonesia sungguh beragam. Mulai dari jajanan berbuka muncul tiba-tiba di jalan seperti polisi lalu lintas di masa-masa razia, abang-abang tamiya dengan track tamiya-nya, tukang petasan yang muncul untuk memupuk bibit-bibit terorisme di masa dini, dan hal-hal lainnya yang menurut gue cukup unik dan mungkin cuman ada di Indonesia. Kali ini gue akan membahas tentang PKL yang suka muncul dadakan di pinggir jalan (atau bahkan di tengah jalan) untuk menjajakan dagangannya ketika jam menjelang buka puasa.
Seperti yang kita ketahui kemunculan PKL dadakan ketika bulan Ramadhan suatu berkah bagi pedagang dan juga konsumennya. Sebuah simbiosis mutualisme, di mana pedagang dan konsumen saling diuntungkan. Pedagang mendapatkan uang dari hasil dagangannya dan konsumen mendapatkan kebutuhannya dari pedagang. Gue dapat apa? Biasanya gue dapat ampas sisa-sisa jualan (kadang gue suka pungutin demi menyambung kehidupan gue di Bandung). Di sini gue melihat adanya harmonisasi antar individu untuk menciptakan suasana damai bulan suci ini. Harmonisasi individu yang menjadi berkah ini seketika dapat berubah menjadi musibah di mana padatnya PKL dadakan di bahu mantan jalan ini sampai sekarang menjadi masalah klasik perkotaan ketika bulan puasa datang.
|
Sumber di sini
Pedagang PKL Kurang Tertata Dengan Baik Ketika Bulan Ramadhan |
|
Sumber di sini
Tumpukan PKL di Jalan Utama |
|
Sumber di sini
Di Bom Asik Nih Biar Kosong #kemudianditangkepdetasemen88 |
Kebanyakan masyarakat berpikir permasalahan ini menjadi hal yang wajar karena masyarakat sudah terbiasa dengan pola hiruk pikuk perkotaan yang membuat diri mereka seperti ikan yang berenang mengikuti arus. Ketika arus itu semakin deras, hal yang mereka lakukan adalah tetap berenang mengikuti arus yang ada. Buat gue sebagai ikan yang hipster, gue selalu melawan arus yang ada. Permasalahan ini adalah sebuah masalah yang besar karena ini akan sangat berpengaruh terhadap habit masyarakat yang merasakan suasana tersebut. Sangat disayangkan jika masyarakat terus apatis dengan kondisi yang ada, gue yakin masyarakat akan menjadi emosional. Kenapa emosional? Karena kebutuhan manusia akan kenyamanan semakin minim dengan padatnya ruang gerak mereka. Ketika ruang kenyamanan minim, manusia cenderung untuk membuka ruangnya sendiri dengan melibatkan emosional mereka. Simpelnya, mereka mau menempuh dengan cara apapun agar kebutuhan akan kenyamanannya menjadi terpenuhi. Manusiawi.
Di jurusan arsitektur, gue belajar tentang pola perkotaan di mata kuliah kota dan permukiman. Sedikit menyimpulkan dari apa yang gue pelajari mengenai kota dan permukiman (walaupun sebenarnya di kelas matkul ini gue sering tidur), perkotaan yang nyaman adalah kota yang dapat dijangkau dari satu titik ke titik yang lain dengan berjalan kaki. Di setiap distriknya terhubung oleh transportasi umum demi menunjang kebutuhan masyarakat untuk meminimalisir kendaraan pribadi lalu lalang yang menyebabkan padatnya perkotaan. Kembali ke studi kasus tentang PKL dadakan ketika bulan puasa. Gue melihat bahwa sebenarnya kepadatan yang cukup menganggu di sekeliling kita ketika bulan puasa bukan dari banyaknya jumlah PKL yang muncul, tetapi dari keberadaan kendaraan bermotor yang lalu lalang di TENGAH-TENGAH PKL yang sedang berjualan. Gue ulangi lagi, DI TENGAH-TENGAH men! Betapa gak nyamannya ruang gerak manusia pada waktu itu. Kendaraan tersebut bagaikan hembusan kentut yang datang di tengah-tengah kerumunan orang yang sedang menyantap makanan di restoran. Gak enak. Mobilitas yang padat dan bersaing antara jumlah pengguna kendaraan bermotor dan manusia dalam ukuran jalan yang menurut gue hanya mampu menanggung beban salah satu dari mereka. Gue keinget kuliah umum yang dibawakan Ridwan Kamil waktu di ITB. Sebenarnya kendaraan bermotor itu menyesuaikan dari pola jalan yang dibentuk di perkotaan. Contoh keberhasilan penataan pola perkotaan antara kendaraan dan manusia ala Walikota Bandung adalah daerah Dalem Kaum yang dulunya adalah kawasan padat akan monster-monster besi penguasa jalanan. Pada saat itu manusianya malahan mengisi tengah jalan raya yang seharusnya diisi oleh kendaraan bermotor.
|
Sumber di sini
Paradoks yang Terjadi di Daerah Dalem Kaum Bandung |
|
Sumber di sini
Kalo Gue Balapan di Sini Gue Pasti Udah Masuk Penjara Karena Menabrak Banyak Orang |
Nah dari sanalah Ridwan Kamil menggunakan ilmu arsitekturnya untuk mengatasi masalah perkotaan di Bandung dengan menutup Jalan Dalem Kaum untuk kendaraan bermotor sehingga dapat dilintasi banyak orang. Awalnya ditentang sama pedagang di daerah tersebut. Berkat kegigihan beliau, beliau
mendapatkan seratus ribu yen dapat meyakinkan pedagang di daerah tersebut bahwa ketika Jalan Dalem Kaum ditutup untuk kendaraan bermotor, jumlah produktivitas orang yang melintas lebih banyak sehingga area perdagangan lebih ramai dikunjungi.
|
Sumber di sini
Area Jalan Dalem Kaum yang Disulap Menjadi Area Pejalan Kaki |
|
Sumber di sini
Kenyamanan Orang yang Lalu Lintas di Daerah Tersebut Tidak Terganggu Dengan Kendaraan Bermotor |
Kembali ke masalah PKL dadakan. Jika ditinjau dari jarak aksesbilitas untuk pejalan kaki, radius 500 meter adalah radius yang ideal untuk pejalan kaki (Unterman; 1984). Untuk ukuran orang Indonesia, jarak tempuh yang ideal berkisar 400m (Kompas 4 April 1989) berjalan di perkotaan. Jadi idealnya, untuk mencapai ke pusat dagangan PKL, baiknya daerah dengan radius 400 meter menjadi daerah clear area dari kendaraan bermotor. Untuk PKL baiknya ditempatkan di suatu tempat besar agar mobilitas kendaraan tidak menumpuk dengan kegiatan berdagang. Gue yakin kenyamanan akan terbentuk dengan pola perkotaan yang tertata seperti solusi yang gue tawarkan. Mungkin aja teman-teman pembaca punya solusi lain untuk memecahkan permasalahan ini, kalo ada silahkan komen di bawah ya.
|
Sumber Gue Sendiri
Tau Alasan Kenapa di Sebut Pedagang Kaki Lima? |
Comments
Post a Comment